Jakarta (ANTARA) - Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Tuti Tursilawati oleh otoritas Arab Saudi, tergolong hukuman mati mutlak (had gillah) yang tidak bisa diampuni, kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal.
Berdasarkan tingkatannya, had gillah merupakan hukuman mati tertinggi di Arab Saudi setelah qisas dan takzir, karena tidak bisa diampuni oleh raja atau ahli waris korban. Tindakan yang termasuk had gillah hanya dapat dimaafkan oleh Allah SWT.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/10), Iqbal mengungkapkan tindakan Tuti membunuh ayah majikannya, Suud Mulhak Al Utaibi, dilatarbelakangi pelecehan yang kerap diterimanya.
Namun, tindakan tersebut tidak bisa disebut sebagai pembelaan diri karena dilakukan tidak pada saat pelecehan berlangsung.
"Tuti dianggap melakukan pembunuhan berencana, karena itu mendapat hukuman had gillah," ujar Iqbal.
Belajar dari kasus Tuti, Iqbal mengimbau para calon tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri untuk ekspresif dan berani membela hak-haknya sejak awal.
"Banyak tenaga kerja kita yang berdiam saat dilecehkan, dendamnya disimpan. Suatu saat ketika sudah tidak tertahankan kemudian dia melakukan pembunuhan sehingga dianggap pembunuhan berencana," kata Iqbal.
Meskipun pemerintah terus mengupayakan pembebasan Tuti dari ancaman hukuman mati, namun kasus seperti Tuti akan sulit dibuktikan sebagai pembelaan diri karena pembunuhan yang ia lakukan menggunakan kayu untuk memukul majikannya hingga meninggal dunia, dianggap telah dipersiapkan sejak awal.
"Yang dibunuh adalah seorang kakek yang menjadi pelindung keluarga tersebut, dan dipukulnya dari belakang. Ini yang memberatkan Tuti," kata Iqbal.
Tuti Tursilawati divonis hukuman mati pada 2011, atas kasus pembunuhan yang ia lakukan setahun sebelumnya.
Perempuan asal Majalengka, Jawa Barat, itu kemudian dieksekusi mati di Kota Thaif, Arab Saudi, pada Senin (29/10) pukul 09.00 pagi waktu setempat.
Staf KJRI Jeddah, yang baru menerima pemberitahuan setelah eksekusi mati dilaksanakan, ikut menshalatkan jenazah dan menyaksikan pemakaman Tuti.
Sebelum meninggal dunia, perempuan yang lahir 6 Juni 1984 itu sempat melakukan video call dengan ibundanya pada 19 Oktober lalu dan mengatakan dirinya dalam kondisi baik.
"Keluarga Tuti, terutama sang ibu, sudah mengikhlaskan kepergian Tuti meskipun kaget saat mendengar eksekusi sudah dilakukan karena beberapa hari lalu masih berkomunikasi dengan putrinya," ujar Iqbal.
Baca juga: Indonesia protes eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati
Baca juga: Amnesty International: Arab Saudi cederai etika diplomasi
Baca juga: Hikmahanto: protes Menlu tepat terkait eksekusi Tuti
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018