Surabaya (ANTARA News) - Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) mengungkap saat ini sudah ada "jendela" yang mengarah kepada dugaan kuat atas keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN), dalam kasus kematian aktivis HAM, Munir. "Sudah ada `jendela` ke arah positif dalam pengungkapan kasus Munir. Arahnya, bukti-bukti dalam sidang PK (Peninjauan Kembali) sudah menunjuk dugaan keterlibatan BIN itu," kata aktivis KASUM, Choirul Anam, di Surabaya, Kamis. Dalam "Refleksi Kematian Munir (2004-2007)" yang juga menampilkan mantan direktur LBH Surabaya M Zaidun SH MH (dekan FH Unair) dan Ketua PusHAM Unair Bambang Budiono, ia mengemukakan, ada empat jenderal BIN yang diduga kuat terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. "Jendela dalam kasus Munir antara lain bukti rekaman 41 kali percakapan telepon Pollycarpus dengan orang BIN, kemudian bukti pengakuan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan bahwa perpindahan Pollycarpus dari pilot menjadi administrasi keamanan Garuda atas permintaan BIN, dengan surat resmi," katanya. Namun, kata aktivis "Human Right Working Group" (HRWG) itu, surat yang diakui Indra Setiawan dalam persidangan itu sudah dihapuskan dari "file" BIN, dan bahkan surat yang dipegang Indra Setiawan pun sudah dirampok di perjalanan. "Ada juga dua saksi yang mengarah ke BIN, yakni Sentot Waluyo dan Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok yang merupakan agen BIN golongan III. Sentot adalah pembuat empat skenario pembunuhan Munir, sedang Ucok adalah aktivis mahasiswa yang memata-matai kegiatan Munir," katanya menjelaskan. Empat skenario pembunuhan Munir adalah ditabrak di jalan, disantet, dibunuh di kantornya, dan diracun di rumahnya. Namun empat skenario itu tidak dipakai dan akhirnya diganti dengan skenario racun arsenik di bandara Changi, Singapura. "Jadi, Sentot dan Ucok merupakan implementator lapangan untuk pembunuhan Munir dengan kendali Deputi I BIN, yakni Manunggal Maladi. Kemudian keduanya juga berkoordinasi dengan Deputi VI BIN Muchdi PR dan Waka BIN As`ad," katanya mengungkapkan. Selain itu, pengakuan pengacara Adnan Buyung Nasution yang sempat dimintai bantuan Waka BIN As`ad untuk mengingatkan Munir agar berhati-hati dengan tindakannya, juga menguatkan "jendela" itu. Penyalahgunaan BIN Choirul Anam berpendapat, kendala pengungkapan dugaan keterlibatan BIN dalam kasus Munir adalah ada-tidaknya sikap kooperatif BIN untuk pemeriksaan empat jenderal BIN. "Masalahnya, apakah Kepala BIN Syamsir Siregar mau mereformasi BIN dengan mengizinkan pemeriksaan empat jenderal, yakni Hendropriyono (mantan Kepala BIN), As`ad (Waka BIN), Manunggal Maladi (Deputi I), dan Muchdi PR (Deputi VI)," katanya menegaskan. Menurut dia, BIN secara institusi tidak bersalah, namun BIN harus mau "membersihkan" anggotanya yang menyalahgunakan BIN untuk kepentingan pribadi. Sebab, mereka menjadi "duri dalam daging" bagi BIN sendiri. "Saya kira, BIN harus kooperatif bila diminta kesaksian empat jenderal dalam sidang lanjutan. Tapi polisi saat ini masih menyiapkan saksi manager Coffe Bean di bandara Changi dan penjemput Pollycarpus," katanya. Tentang alasan BIN "menghabisi" Munir SH, ia mengatakan ada empat alasan, yakni Munir cukup kritis terhadap RUU BIN sebagai upaya mereformasi BIN yang selama ini melibatkan birokrat hingga ke tingkat RT/RW untuk aktivitasnya. "Alasan lainnya adalah Munir juga kritis terhadap rencana pembentukan BIN di daerah-daerah, protes Munir atas keterlibatan Hendropriyono yang masih aktif sebagai tim pemenangan Megawati Soekarnoputri, dan kasus Talangsari yang melibatkan `Garuda Hitam` bentukan Hendropriyono," katanya. Senada dengan itu, Ketua PusHAM Unair Bambang Budiono menyatakan, reformasi BIN merupakan "kunci" demokrasi di Indonesia, karena BIN selama ini memang sering disalahgunakan untuk praktek-praktek anti-demokrasi. "Kalau BIN tidak direformasi, saya kira demokrasi di Indonesia masih belum maksimal. Apalagi BIN sampai saat ini masih menjadi satu-satunya lembaga yang tak tersentuh demokratisasi," katanya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007