Komponen deformasi vertikal gempa bumi di laut ini yang berpotensi menimbulkan tsunami.
Jakarta (ANTARA News) - Satu purnama telah berlalu sejak bencana gempa dan tsunami menimpa Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu.
Masa tanggap darurat bencana alam gempa, tsunami juga likuifaksi di Palu dan Donggala yang efeknya terasa di Sigi dan juga Parigi Moutong pun, resmi berakhir pada 26 Oktober 2018 dan berganti menjadi tanggap darurat menuju pemulihan.
Hingga data terakhir masa tanggap darurat, korban meninggal dunia 2.086 orang, 4.438 orang korban luka dan 1.075 orang dinyatakan hilang sementara 206.494 orang mengungsi. Dahsyatnya bencana juga menyebabkan 68.451 rumah mengalami kerusakan.
Akan tetapi, keadaan dan kondisi di segala aspek kehidupan mulai pemerintahan, perekonomian dan transportasi di empat wilayah Provinsi Sulawesi Tengah tersebut yang tadinya lumpuh total, kini berangsur pulih seiring dengan waktu.
Kendati saat ini keadaan bisa dibilang normal dan mulai pulih pada berbagai aspek, namun keadaan mencekam saat tanah bergoyang yang disusul tsunami serta likuifaksi di berbagai Kecamatan Kota Palu dan Kabupaten Sigi, pada Hari Jumat tanggal 28 September 2018 lalu itu, masih terekam dengan jelas dari para korban selamat.
Devia, remaja berusia sekitar 15 tahun warga Tawaeli, Kota Palu, yang menjadi salah satu korban selamat, menceritakan sore itu keadaan seperti biasanya, aktifitas masyarakat berlangsung normal meski pada siang harinya sekitar pukul 15:00 WITA warga Palu merasakan gempa berkekuatan 5,9 magnitudo yang berpusat di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala.
Sore itu, Devia, siswi kelas satu SMAN 9 Palu, berencana akan mengerjakan tugas sekolah di kediaman temannya yang tepat berada di wilayah pesisir pantai Tawaeli.
Saat sampai di rumah temannya sekitar pukul 17:00 WITA, Devia mohon izin untuk istirahat hingga tertidur. Dan saat tertidur itulah gempa tektonik besar berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, selama delapan detik.
"Saat goyang tanah besar itu, Devia sedang tidur, dan ketika bangun seisi rumah sudah kosong. Saat keluar sudah gelap, dan ketika melihat ke arah pantai Devia lihat ombak besar sekali warnanya hitam, seketika itu Devia lari lewat-lewat pagar orang ke bukit dikejar ombak," kata Devia saat dihubungi.
Terkatung-katung dengan tak ada teman dan orang yang dikenal selama beberapa jam di hutan-hutan, Devia akhirnya ditampung oleh satu keluarga yang sama-sama menjadi korban bencana.
Total tiga hari Devia mengikuti keluarga itu dengan berpindah-pindah posko pengungsi dalam keadaan kekurangan makanan sebelum akhirnya ada mantan guru SMP-nya yang bertemu dengannya dan mengantar dia pada kedua orang tuanya.
Pahlawan di tengah kesusahan
Gempa dan tsunami pada 28 September 2018 lalu sendiri, tidak hanya meninggalkan cerita sedih, namun juga berbagai cerita heroik di dalamnya.
Mulai dari petugas pengatur lalu lintas udara atau ATC di Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu, Anthonius Gunawan Agung, yang menunggu hingga berhasil menerbangkan pesawat Batik Air dari menara pengawas bandara kendati gempa mengguncang hebat yang berakhir dengan meninggalnya Agung usai melompat dari lantai empat menara.
Hingga cerita warga yang menjadi korban bencana sendiri yang turut menjadi korban, namun ikut membantu orang lain meski dirinya sendiri kesusahan.
Di tengah keadaan kalut pada malam bencana itu terjadi, setelah mengungsikan keluarganya di tempat aman, Ayu Lestari warga Kota Palu, tidak beristirahat namun mempersiapkan obat-obatan yang dimilikinya untuk membantu korban terluka.
Dari lokasi ke lokasi pengungsian menggunakan sepeda motor bersama saudaranya, Ayu memberikan pengobatan pertama yang dia bisa untuk mengobati atau setidaknya mengurangi rasa sakit yang diterima korban terluka berbekal ilmu farmasi yang dipelajarinya.
Di tengah keadaan mencekam dan penuh kekhawatiran akan ada gempa susulan, Ayu terus berkeliling mencari korban-korban yang membutuhkan pengobatan hingga pagi menjelang barulah dia kembali ke keluarganya
"Saya tidak bisa hanya diam, saya harus membantu. Saya tak peduli, kalaupun saya ada apa-apa, saya anggap itu jihad," kata Ayu yang saat ditemui di Palu pada Senin, 1 Oktober, sedang berada di RS Terapung KRI Soeharso mengantar ibunya berobat.
Penjelasan Ilmiah
Air laut hitam setelah gempa dahsyat selama delapan detik, itulah memori yang selalu diingat oleh Devia, Ayu dan mungkin korban lainnya akan dahsyatnya kekuatan alam yang diperlihatkan pada saat itu.
Gempa besar pada petang itu sendiri, berdasarkan berbagai sumber (BMKG, GFZ, USGS) berpusat di sekitar 0.178 LS; 119.840 BT pada kedalaman 10 km yang digambarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) setara dengan 3x10^6 Ton-TNT atau 200 kali Bom atom Hiroshima.
Menurut Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT, Wahyu W. Pandoe gempa bumi ini mekanismenya sesar geser dengan arah dominan Barat Laut-Tenggara dengan perkiraan empiris luas bidang patahan 125 x 20 km^2.
Berdasar simulasi model (analitik-numerik) oleh BPPR, kawasan Palu hingga Kabupaten Donggala dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar antara -1,5 sampai 0,50 m.
Hal ini berakibat daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Tawaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, diperkirakan mengalami penurunan 0,5-1 m dan di Banawa mengalami penaikan 0,3cm.
Lalu bagaimana dengan tsunami dan airnya yang berwarna hitam?
BPPT menyebut gempa bumi ini berpusat di darat dengan sekitar 50 persen proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut.
"Komponen deformasi vertikal gempa bumi di laut ini yang berpotensi menimbulkan tsunami," kata Wahyu.
Berdasarkan hasil model, tinggi tsunami di sepanjang pantai antara beberapa cm hingga 2,50 m. Tsunami juga menurut Wahyu berpotensi lebih tinggi lagi karena efek turunnya daratan di sekitar pantai dan amplifikasi gelombang akibat batimetri serta morfologi teluk.
Dan karena gempa terjadi dengan kedalaman 10 km di zona sekitar Sesar Palu-Palukoro dengan kecepatan geser sekitar 10 mm/tahun ini yang diperkirakan ketika terjadi tsunami, membawa serta lumpur dan material lainnya dari dasar laut bersama gelombang tsunami hingga mempengaruhi warna gelombang air laut.
Dahsyatnya bencana alam besar di Palu dan Donggala pada 28 September itu, diketahui merupakan yang pertama terjadi dalam 50 tahun terakhir.
Berdasarkan catatan sejarahnya, gempa dan tsunami di Palu yang namanya diambil dari bahasa setempat "Topalu'e" yang artinya tanah yang terangkat karena gempa ini, pernah terjadi pada 1927, 1938 dan 1968.
Bahkan pada tahun 1968, terjadi dua kali gempa dan tsunami (10 dan 14 Agustus 1968) yang menyebabkan 200 orang meninggal dan 800 rumah hancur, memicu aktivitas gunung berapi di Pulau Sangihe dan Talaud, serta menenggelamkan Pulau Tuguan dengan ratusan jiwa di dalamnya.
Melihat cukup banyaknya korban jiwa dalam bencana terakhir, walau Kota Palu cukup sering merasakan gempa, kata salah satu korban bencana Ivan Dj Nouk, banyak pihak yang terlena dengan keadaan tersebut sehingga melupakan untuk melakukan persiapan.
"Bencana ini adalah teguran bagi kita semua, termasuk pemerintah agar hidup serasi dengan alam serta harus memperbaiki kesiap-siagaan infrastruktur dan manusia-manusia dalam menghadapi bencana, terutama di wilayah rawan seperti Palu dengan patahan Palukoro-nya," ujar Ivan yang juga merupakan relawan kemanusiaan gempa di Palu, Sigi dan Donggala dengan penuh harap agar Palu dan sekitarnya kuat serta segera bangkit.*
Baca juga: Kerusakan dan kerugian gempa Sulteng Rp18,48 T
Baca juga: BNPB: Situasi Sulawesi Tengah sudah kondusif
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018