Sydney (ANTARA News) - Masalah rehabilitasi para mantan terpidana kasus teror sehingga mereka dapat kembali ke masyarakat dengan baik sempat mengemuka dalam pertemuan para menteri APEC di Sydney, ketika sidang menyoroti isu kerjasama kontra terorisme, kata Menlu Nur Hassan Wirajuda. Ditemui Rabu malam di lobi Hotel "Four Seasons" Sydney yang menjadi tempat menginap delegasi RI, ia mengatakan upaya rehabilitasi para mantan terpidana kasus teror itu menjadi bagian dari upaya penanganan ancaman teror melalui upaya pemenangan "hati dan pikiran" masyarakat. Pertemuan tingkat menteri (AMM) ke-19 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang berlangsung di Sydney Convention Center (SCC) dari Rabu hingga Kamis itu, Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Hassan Wirajuda lebih lanjut mengatakan, isu kontra terorisme menjadi bagian dari masalah keamanan manusia dan keamanan perdagangan. Isu-isu lain yang masuk di dalamnya adalah bagaimana langkah-langkah preventif dan kesiapsiagaan anggota APEC menghadapi ancaman bencana alam dan wabah penyakit menular seperti flu burung (H5N1), serta revitalisasi dan reformasi APEC. Terkait dengan keamanan perdagangan, yang dibahas adalah bagaimana mengamankan lalu lintas barang dan jasa, serta lalu lintas manusia melalui kerja sama yang dapat membantu pembangunan kapasitas anggota ekonomi serta mengurangi beban mereka dari pengadaan infrastruktur yang mahal, katanya. Dalam hal ini, kata Hassan Wirajuda, Indonesia mengusulkan agar pendekatan sanksi tidak digunakan. "Itulah yang kita tekankan," katanya. Reformasi APEC Mengenai masalah reformasi APEC, ia mengemukakan para menteri forum kerjasama yang dibentuk tahun 1989 dan kini memiliki 21 anggota ekonomi itu umumnya memahami perlunya pengangkatan direktur eksekutif untuk mendukung kerja kesekretariatannya, namun Indonesia menginginkan adanya mekanisme yang jelas. "Pengangkatan `executive director` (direktur eksekutif) dalam rangka reformasi APEC ini umumnya diterima karena beban kerja APEC semakin besar. Hanya saja kita menginginkan adanya mekanisme pengangkatan dan aturan yang jelas," katanya. Ia mengatakan, Indonesia cenderung menginginkan seorang profesional yang akan menduduki jabatan direktur eksekutif sekretariat APEC. Namun ia mengesampingkan kekhawatiran bahwa kehadiran direktur eksekutif APEC itu akan mengarahkan forum ini menjadi organisasi yang menghasilkan keputusan yang mengikat. "Bagi Indonesia, APEC akan tetap seperti sekarang ini (forum yang keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak mengikat dan dibuat berdasarkan konsensus-red.). Ke depannya belum tahu," katanya. Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga hadir dalam AMM ke-19 APEC mengatakan, Indonesia dan anggota-anggota APEC yang tergolong kelompok berkembang tidak setuju jika Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) yang diusulkan Amerika Serikat (AS) di KTT APEC Ha Noi tahun lalu dilakukan dalam jangka pendek. Jika hal itu dilakukan maka dikawatirkan akan mengurangi komitmen bersama untuk mendukung sistem perdagangan multilateral di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ide FTAAP bisa saja terus dipelajari dan kalau pun lantas disetujui, FTAAP itu merupakan "sesuatu yang akan dilakukan dalam jangka panjang", katanya. Alasan dibalik keengganan Indonesia dan kelompok berkembang dalam APEC itu adalah adanya kekhawatiran bahwa FTAAP akan mereduksi komitmen bersama untuk mendukung sistem perdagangan multilateral di bawah WTO, adanya perbedaan kapasitas dan tingkat pembangunan di antara anggota APEC sendiri, dan belum adanya kesepakatan secara prinsip bahwa APEC akan dijadikan "forum negosiasi", katanya. Apa yang perlu didorong semua anggota APEC adalah langkah-langkah yang bisa meningkatkan perdagangan dan investasi tanpa harus melaksanakan FTAAP seperti menurunkan biaya fasilitasi perdagangan tambahan lima persen lagi hingga 2010, katanya. Usul FTAAP itu digulirkan Amerika Serikat (AS) dalam KTT ke-14 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Ha Noi, pada 18-19 November 2006. Dalam Deklarasi Ha Noi itu, para pemimpin APEC telah menginstruksikan kepada para pejabat 21 anggota ekonomi untuk melakukan studi lebih lanjut tentang "cara-cara" mempromosikan integrasi ekonomi kawasan, termasuk FTAAP, sebagai "prospek jangka panjang", dan melaporkan hasil studi itu kepada KTT APEC di Australia. Bush dan politik domestik Australia Sementara itu, dalam perkembangan lain, Presiden Amerika Serikat George W.Bush telah bertemu pemimpin oposisi yang juga Ketua Partai Buruh Australia (ALP) Kevin Rudd setelah Rabu pagi (6/9) bertemu Perdana Menteri John Howard. Kehadiran Presiden Bush di Sydney itu tidak sekadar menyentuh kepentingan KTT APEC pada 8-9 September 2007 tetapi juga memasuki ranah politik domestik Australia karena adanya perbedaan kebijakan di antara pemerintahan Howard dengan apa yang akan diambil ALP jika menang dalam Pemilu tahun ini. Dalam pertemuannya dengan Bush, PM Howard menegaskan sikap pemerintahannya yang akan tetap mempertahankan kehadiran pasukan Australia di Irak , sedangkan Kevin Rudd dan ALP tetap berencana menarik pasukan Australia jika mereka menang dalam Pemilu 2007. Presiden Bush sendiri memberikan "dukungan"-nya pada PM Howard untuk tetap memimpin Australia di tengah terus merosotnya persentase perolehan suara dalam berbagai jajak pendapat. Namun Wakil PM Australia, Mark Vaile, seperti dikutip ABC mengatakan, ia tidak tahu apakah dukungan Bush itu bias membantu Howard tetap bertahan di pemerintahan. Forum APEC yang dibentuk tahun 1989 itu beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, China, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. (*)

Copyright © ANTARA 2007