Jakarta (Antara/JACX) - "Sebagian besar orang Amerika menyadari ada dua kelompok orang yang pergerakannya secara rutin diawasi. Kelompok pertama secara otomatis terpantau di bawah perintah pengadilan untuk memasang perangkat pelacak di pergelangan kaki mereka. Sementara kelompok kedua, mencakup semua orang di luar kelompok pertama (sejauh mereka aktif menggunakan internet-red),kata Shoshana Zuboff, dalam bukunya, “The Secrets Of Surveillance Capitalism, Google As A Fortune Teller.

Shoshana Zuboff, Profesor Emeritus dari Charles Edward Wilson Harvard Business School mencoba menjelaskan fenomena surveillance-capitalism dalam kutipan di atas. Sebuah fenomena yang lahir bersamaan dengan fenomena digitalisasi.

Dalam buku Master or Slave: The Fight for the Soul of Our Information Civilization, Zuboff lebih lanjut menjelaskan fenomena tersebut. Surveillance-capitalism merujuk pada keadaan-keadaan, pertama, di jaman digitalisasi dewasa ini, ada pihak yang sepertinya lebih kuat dan lebih canggih dibandingkan dengan institusi negara dalam hal kemampuan melakukan operasi mata-mata atau pengawasan.

Kedua, institusi pengawasan yang dimaksud bukanlah negara atau institusi formal intelijen, bukan pula lembaga intelijen multilateral, melainkan korporasi swasta (perusahaan-perusahaan digital-red).

Dan yang Ketiga, pengawasan itu dilakukan terutama sekali bukan karena alasan politis atau ideologis, melainkan karena alasan bisnis atau ekonomi.

Keempat, obyek pengawasan itu bukan kelompok tertentu, melainkan hampir semua orang dan yang kelima, kita diawasi bukan karena kita mengancam atau berbahaya, tetapi justru sebaliknya, karena kita dibutuhkan dan didambakan sebagai pemasok data dan obyek periklanan untuk korporasi yang dimaksud di atas.

Keenam, pengawasan dilakukan tidak dengan peralatan yang sangat ekslusif dan jarang, tetapi dengan peralatan yang dimiliki hampir semua orang, telepon genggam.

Demikian kurang lebih lingkup dan esensi surveillance capitalism. Surveillance-capitalism adalah sebuah versi penjelasan tentang apa yang terjadi dalam hubungan pengguna internet dengan perusahaan raksasa digital seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, Microsoft.

Surveillance-capitalism menawarkan pandangan kritis tentang fenomena digitalisasi, internet of things dan demokrasi digital. Konsep ini menggambarkan bagaimana perusahaan digital itu menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap internet sekaligus melakukan komodifikasi atas perubahan-perubahan pada perilaku pengguna internet sebagai akibat dari ketergantungan itu.

Zuboff menganalisis dampak revolusi digital sebagaimana tercermin dalam konsep internet of things, cloud of things dan big-data terhadap prinsip privasi dan kedaulatan diri, serta terhadap konsep masyarakat, kebebasan dan demokrasi.

Pengawasan Atas Semua Orang

Zuboff menggambarkan surveillance-capitalism sebagai jenis kapitalisme baru yang mendasarkan diri pada tindakan atau proses pengawasan terhadap semua orang. Dengan konsep internet of things, semakin lama semakin banyak barang atau peralatan yang terkoneksi dengan internet.

Dengan semakin banyaknya telepon pintar yang beredar, maka frekuensi dan durasi penggunaan internet juga semakin tak terkendali. Padahal semakin aktif menggunakan internet, kita semakin terpapar oleh pengawasan digital yang dilakukan perusahaan penyelenggara jasa internet, perusahaan penyedian layanan media sosial, mesin-pencari, e-commerce dan lain-lain.

Jika tahun 2018 pengguna Facebook di seluruh dunia mencapai 2,2 milyar orang, maka data perilaku digital 2,2 milyar orang itu pula yang diperoleh dan dikelola Facebook. Data statistik menunjukkan, terus-menerus terjadi lompatan jumlah pengguna internet, pengguna telephon pintar, pengguna media sosial, pengguna mesin-pencari dan e-commerce.

Dengan asumsi bahwa pada akhirnya hampir semua orang terkoneksi dengan internet pada gradasi yang berbeda, Zuboff sampai pada kesimpulan bahwa ranah digital adalah ranah pengawasan terhadap semua orang.

Seperti dikutip di atas, secara hiperbolis Zuboff menyatakan, “Sebagian besar orang Amerika menyadari ada dua kelompok orang yang pergerakannya secara rutin dipantau. Kelompok pertama secara otomatis terpantau di bawah perintah pengadilan yang memasang perangkat pelacak di pergelangan kaki mereka. Sementara kelompok kedua, mencakup semua orang di luar kelompok pertama (sejauh mereka aktif menggunakan internet-red)…"

Dalam konteks inilah analogi masyarakat digital dengan konsep digital panopticon seperti dijelaskan di atas menemukan relevansi. Konsep ini menggambarkan suatu penjara di mana di setiap sudut dipasang perangkat CCTV.

Hampir semua gerak-gerik penghuni penjara dapat dipantau dan diarahkan. Tidak ada lagi kebebasan karena yang ada adalah pengawasan dan pengendalian. Demikian juga yang terjadi pada era internet of things dewasa ini.

Hampir semua bagian dari kehidupan kita terhubung dengan jaringan internet. Maka sesungguhnya layanan-layanan digital yang umumnya gratis adalah sarana bagi perusahaan digital untuk mengawasi dan mengendalikan gerak-gerik dan keputusan kita.

Begitu melibatkan diri dalam lanskap informasi digital global, sesungguhnya kita memasuki hidup dalam kerangka panopticon. Hidup dalam sistem pengawasan dan kontrol perusahaan penyedia layanan internet of things dan big-data. Hidup yang menjadi objek surveillance-capitalism sedemikian rupa sehingga kita mesti berpikir ulang tentang konsep privasi dan kedaulatan diri.

Pengaturan dan Pengendalian Secara Real Time

Industri digital menurut Zuboff adalah industri yang sangat instrumentalistik terhadap khalayaknya. Saat ini, data tentang di mana kita berada, ke mana kita akan pergi, apa yang kita rasakan, rincian tentang kebiasaan berkendaraan kita serta keadaan kendaraan kita telah menjadi komoditi yang sangat berharga atau prospek bisnis baru yang sangat menggiurkan. Sayangnya komiditi dan prospek itu sejauh ini hanya menjadi milik perusahaan digital.

Seperti telah dijelaskan dalam bab Free Culture Online, data-data itu digunakan untuk menciptakan bentuk-bentuk pengaturan dan pengendalian yang secara dinamis dan real time mengarahkan dan mendorong modifikasi perilaku pengguna internet.

Data tentang perilaku pengguna mobil yang didapatkan distributor otomotif, perusahaan asuransi dan kepolisian misalnya, dapat diolah guna menghasilkan analisis yang sangat berguna untuk memutuskan kenaikan tarif tol secara real time, denda uang untuk pembeli kendaraan bermotor yang menunggak cicilan, pemberlakuan jam malam pada keadaan darurat.

Sebaliknya, dalam konteks yang positif analisis tersebut dapat digunakan untuk membuat keputusan tentang penetapan tarif diskon, kupon atau pemberian bintang emas yang dapat ditukarkan di kemudian hari untuk pelanggan yang baik.

Dalam konteks ini, bisnis otomotif telah memberi kesempatan pada perusahaan asuransi untuk memacu pendapatan dengan cara menjual data perilaku berkendara pelanggannya, seperti halnya Google menangguk keuntungan dari proses pengumpulan informasi perilaku para pengguna mesin-pencari Google.

Terinspirasi oleh Google, CEO Allstate Insurance pernah mengatakan, “Ada banyak sekali orang yang memonetisasi data dewasa ini. Anda menggunakan Google dan Anda pikir itu gratis. Faktanya, Google tidak gratis. Yang terjadi sebenarnya adalah anda memberikan informasi kepada mereka, dan mereka akan menjual informasi anda tersebut.

Sadarkah kita bahwa kita telah memberikan informasi tentang diri kita kepada pihak lain secara gratis dan pihak lain itu kemudian menjual informasi tersebut kepada pihak lain dengan menghasilkan keuntungan yang kita tidak turut menikmatinya.

Yang terjadi dalam konteks ini menurut Zuboff bukan sekedar bahwa pihak tertentu dengan tanpa izin telah memasuki alamat email kita sebagai ranah privat dengan mengirimkan katalog barang atau iklan daring.

Yang sungguh terjadi adalah akses atas ranah privat itu telah diberikan secara sepihak kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan kita. Sedemikian rupa sehingga si penjual dan pihak ketiga tersebut secara real time dapat menginfiltrasi realitas hidup sehari-hari kita, berusaha mempengaruhi dan mengubah perilaku kita demi menghasilkan keuntungan untuk mereka sendiri.

Bukan Sekedar Mengawasi, Melainkan Juga Mengubah Perilaku

Ranah digital diibaratkan sebagai supermall yang gemerlap oleh aneka rupa barang konsumsi yang terus-menerus merayu kita untuk membelanjakan uang-elektronik kita. Telepon genggam adalah pintu gerbang menuju supermall itu yang tidak pernah tutup, beroperasi 24 jam sehari.

Dalam konteks ini, Zuboff melihat teknologi internet sebagai pintu gerbang menuju tata-hidup-baru di mana segala hal privat pengguna internet menjadi obyek monetisasi perusahaan digital dan para klien.

Barang yang sedang anda cari, gangguan kesehatan yang sedang anda idap, restoran yang ingin anda kunjungi, liburan favorit anda, keyakinan ideologis anda, orientasi seksual anda dan seterusnya, tak lagi menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh privat, terekspos dan termanfaatkan oleh pihak lain.

Dalam konteks ini, Facebook, Amazon, Alibaba, Google tidak hanya mampu memetakan kebutuhan dan kecenderungan konsumsi penggunanya, tetapi juga secara terus-menerus mengusulkan berbagai hal yang diasumsikan ingin dibeli, dikonsumsi atau diputuskan oleh pengguna.

Tujuan akhirnya menurut Zuboff adalah mengubah perilaku manusia pada skala tertentu. Mengutip hasil wawancara dengan Kepala Peneliti Data dari sebuah perusahaan di Silicon Valley, yang dikagumi banyak orang berkat hasil karyanya berupa aplikasi untuk membantu proses belajar siswa, Zuboff menyatakan:

“Tujuan akhir dari segala yang kami lakukan adalah untuk mengubah perilaku manusia pada skala tertentu. Ketika orang-orang menggunakan aplikasi kami, kami dapat menangkap informasi mengenai perilaku mereka, mengidentifikasi perilaku yang baik dan yang buruk, serta mengembangkan metode untuk memberikan penghargaan bagi setiap perilaku baik dan hukuman untuk perilaku yang buruk. Kami dapat menguji seberapa mudah isyarat yang kami berikan dapat ditangkap oleh mereka dan seberapa menguntungkannya hal ini bagi kami."

*Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Watch

Pewarta: Agus Sudibyo
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018