Sumatera Barat, (ANTARA News) - Tidak ada yang berbeda sore itu, langit senja di jalanan Kota Palu, Sulawesi Tengah ditingkahi lalu lalang pejalan kaki serta pengendara dengan kendaraan roda dua dan roda empat melintas di keramaian kota dengan kesibukannya masing-masing.

Afrianto (34), seorang perantau Minang asal Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pun tidak luput dari aktivitas sore itu.

Ia bersama bersama istri dan dua anaknya sedang berjalan-jalan menikmati sore sembari berniat membeli beberapa keperluan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi siapa yang akan menyangka di tengah suasana sore menjelang Maghrib itu seketika berubah menjadi penuh kepanikan. Sore itu, Jumat 28 September gempa berskala 7,4 SR datang menggoyang Palu.

Dalam situasi tersebut, seluruh kota dilanda kepanikan. Setiap orang berusaha menyelamatkan diri, tidak luput pula Afrianto dengan istrinya Zulandriani (32) serta dua anaknya, Rafa Dwi Pratama (4) dan Senandung Nazwa (1,5). Pria yang kerap disapa Af tersebut juga ikut panik dengan apa yang terjadi, karena situasi semakin kacau. Sementara anak sulungnya sedang tidak bersama mereka, melainkan sedang berada di masjid yang tidak jauh dari kediamannya.

Beberapa saat setelah gempa, air laut pun mulai naik, perlahan tsunami mulai menyapu daerah pesisir pantai, satu hal yang ada dalam pikiran Af kala itu hanyalah lari untuk menyelamatkan diri beserta keluarganya.
Dalam kondisi tersebut, ia bersama istri dan kedua anaknya tersebut lari dari kota menuju perbukitan, tempat yang dirasa paling aman untuk terhindar dari sapuan tsunami.

Mencari Anak Sulung

Bima Afrel Pratama, anak sulung Afrianto sengaja tidak ikut dengannya sore itu. Sebagaimana hari biasa, setiap menjelang Maghrib Bima berada di masjid bersama teman-temannya untuk belajar mengaji.

"Bima bersama kawan-kawannya sedang berada di masjid untuk belajar mengaji, sembari menunggu waktu shalat Magrib masuk, ia masih tetap di sana," tuturnya.

Lebih lanjut Afrianto menceritakan, ketika gempa terjadi, anaknya yang sedang berada di masjid sempat terhimpit orang lain yang terjatuh saat terjadinya gempa. Bersyukur waktu itu ia dapat segera bangkit dan kemudian lari menuju pantai.

Di pantai pun kondisi tidak lebih baik, dari arah laut gelombang besar mulai berpacu menuju darat, kepanikan semakin menjadi-jadi, anak sepuluh tahun itu sudah tidak tahu lagi akan lari kemana. Dalam kepanikan dan ketakutan itu, Bima mendengar orang-orang memanggil untuk lari ke arah perbukitan, seketika ia mengikuti panggilan tersebut dan akhirnya mendapatkan tumpangan untuk pergi menuju perbukitan.

Sembari mengumpulkan potongan ingatan yang masih segar tentang peristiwa itu, Afrianto menceritakan bagaimana perasaannya yang menjadi campur aduk dan tidak karuan. Betapa tidak, saat dirinya sudah berada di perbukitan serta selamat dari bencana sore itu, akan tetapi kondisi anak sulungnya masih belum pasti, bahkan ia sempat mengira kalau anaknya itu sudah hilang disapu tsunami.

Sebagai seorang ayah, ia tetap berkeyakinan bahwa anak sulungnya itu masih hidup dan selamat, sehingga ia memutuskan untuk mencari keberadaannya. Di perbukitan yang dijadikan tempat pengungsian sementara itu, ia berjalan dari satu kerumunan ke kerumunan lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, mencari dan bertanya pada siapa saja yang melihat anaknya.

Bukan pekerjaan mudah, karena di daerah itu terdapat ribuan orang yang datang untuk menyelamatkan diri, sementara gempa masih terjadi sekalipun dalam skala yang yang lebih kecil. Tanpa henti, ia tetap berusaha menelusuri kemungkinan anaknya ada di lokasi tersebut, semenjak malam pertama terjadinya gempa hingga esok pagi dan bahkan hingga malamnya lagi, Af tidak pernah putus asa mencari Bima.

Di tengah duka akibat bencana tersebut, akhirnya nasib baik datang menghampiri Afrianto, ia menemukan Bima yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya dan berada dalam kondisi selamat tanpa kurang satu apa pun. Setelah menemukan Bima, mereka kemudian memutuskan untuk tetap tinggal di posko pengungsian, lantaran bangunan rumah yang sudah rata dengan tanah, bahkan hanya menyisakan puing-puing dan pondasi. Selain itu pakaian tersisa hanya yang mereka kenakan ketika sebelum gempa terjadi, sebab seluruh harta bendanya sudah habis disapu tsunami.

Ingin pulang kampung

Kondisi pascabencana yang malanda Palu cukup memrihatinkan, karena kerusakan tidak hanya menimpa fasilitas pribadi, akan tetapi juga fasilitas umum, termasuk akses transportasi.

Selain putusnya jembatan, Bandara Mutiara Sis AlJufri pun ikut terdampak gempa sehingga sempat melumpuhkan aktifitas penerbangan dari dan menuju Kota Palu. Setelah dapat beroperasi, bandara tersebut difokuskan untuk mendatangkan bantuan serta sukarelawan.

Salah satu hal yang diinginkan oleh Afrianto setelah beberapa hari berada di posko pengungsian adalah untuk dapat kembali ke kampung halamannya, sebuah nagari nan asri yang berada di kaki Gunung Marapi.

Ketiadaan biaya adalah kendala yang dihadapinya untuk dapat kembali pulang. Tidak habis akal, Afrianto pun kemudian mengunggah foto-fotonya di salah satu sosial media. Hal itu pun mendapat tanggapan dari masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.

Saat itu, Ketua DPRD Tanah Datar, Anton Yondra pun segera datang menemui pihak keluarga Afrianto. Setelah menghubungi Afrianto, selanjutnya Anton Yondra segera menghubungi beberapa pihak terkait serta para perantau Tanah Datar dan menceritakan terkait kondisi yang terjadi.

"Sebelum dipulangkan, Afrianto masih bertahan di tenda pengungsian bersama istri dan ketiga anaknya, sementara harta bendanya habis disapu gelombang," katanya.

Dari komunikasi dengan beberapa pihak terkait serta masyarakat, akhirnya Afrianto bersama keluarganya dapat dipulangkan kembali dan dapat menjajakkan kaki di kampung kelahiran, serta berkumpul bersama keluarga besarnya. Pada Selasa (23/10) sore, Afrianto mendarat di Bandara International Minangkabau (BIM) dan dijemput oleh Kepala Dinas Sosial Yuhardi sebagai perwakilan Pemkab Tanah Datar.

Sesampainya di rumah, tidak hanya keluarga, Afrianto juga disambut Ketua DPRD Tanah Datar Anto Yondra, camat setempat, Wali Nagari Gurun, wali jorong, pemuka masyarakat, serta puluhan tetangga yang sudah menunggu sejak sore.

Baca juga: Mengembalikan senyum Eva yang hilang tertelan gempa
Baca juga: Menanti rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng

Pewarta: Syahrul Rahmat
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018