Yogyakarta (ANTARA News) - Sedikitnya 3,5 miliar manusia di seluruh dunia diperkirakan mengalami kekurangan air pada 2025 dan 2,5 miliar lainnya akan hidup tanpa sanitasi yang layak. Prof Dr Ir Budi Santoso Wignyosukarto dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Rabu, menyatakan bahwa semakin intensifnya penggunaan air, pencemaran air, dan perubahan iklim global menimbulkan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Menurut dia, ketidakseimbangan tersebut memicu terjadinya krisis air di hampir seluruh dunia sehingga sebagian penduduk dunia di negara-negara berkembang menderita penyakit yang diakibatkan oleh air yang tercemar atau karena kekurangan air. Bahkan, saat ini sekira 2 miliar orang menyandang risiko menderita penyakit diare yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian, di mana setiap tahun terdapat 5 juta anak yang meninggal dunia karenanya. Pertanian sebagai usaha penyedia bahan pangan dipandang sebagai pemakai air terbesar yaitu sekitar 70 persen dari jumlah air dunia. Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk sebesar 2 miliar pada 2030, diperlukan peningkatan daerah irigasi sebesar 40 juta hektare atau 20 persen. "Ketidakmerataan ketersediaan air merupakan masalah utama dalam penyediaan dan distribusi air dunia, ada wilayah-wilayah tertentu yang kelebihan air dan ada yang kekurangan," katanya. Ia mengatakan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi persoalan yang kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan. "Pembukaan lahan untuk perluasan daerah pertanian, permukiman, dan industri yang tidak terkoordinasi dengan baik, telah mengakibatkan degradasi lahan, erosi, tanah longsor, dan banjir," katanya. Pada 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25-30 persen. Selain itu, beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi dan erosi berlebihan yang mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk di Pulau Jawa. Menurut Budi, sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk sehingga diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga 2010 saja. "Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan kebijakan alokasi air yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan dibanding pendekatan ekonomi semata," katanya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007