Agar target 12,7 juta hektar bisa tercapai pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu ...

Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) mengatakan pemerintah perlu terobosan baru dalam meningkatkan luasan area perhutanan sosial atau mencapai target 12,7 juta hektar.

Dalam lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah telah menargetkan luas wilayah perhutanan sosial sebesar 12,7 juta hektar. Namun, dalam empat tahun pemerintahan, baru 12,2 persen dari target yang terealisasi.

"Agar target 12,7 juta hektar bisa tercapai pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu mengejar sisa dalam satu tahun ke depan," kata Direktur Pattiro Maya Rostanty di Jakarta, Selasa.

Maya menilai pada 2018, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan terobosan dengan menaikkan anggaran untuk perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan sebesar 114,18 persen. Namun, pada 2019 pagu indikatif mengalami penurunan sebesar 42,35 persen dari awalnya Rp416,01 miliar menjadi Rp239,82 miliar.

Sementara realisasi perhutanan sosial dari target 12,7 juta hektar sejak 2015 baru tercapai 1.558.453, 58 hektar berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) tentang capaian perhutanan sosial per 16 Oktober 2018.

"Dengan kondisi ini, seharusnya pemerintah memberikan dukungan anggaran untuk memenuhi target perhutanan sosial yang masih besar," ujarnya.

LSM ini menginginkan agar KLHK lebih bekerja keras dalam mencapai target 12,7 juta hektar.

"Untuk tahun 2019, kami berharap agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga melakukan terobosan lainnya, terutama melakukan upaya sinergi dengan program atau kegiatan lainnya, baik di internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun dengan kementerian lainnya," tutur Maya.

Maya mengatakan sinergi harus ditingkatkan antara Ditjen PSKL yang bertanggung jawab untuk capaian target 12,7 juta hektar perhutanan sosial dengan Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) yang bertanggung jawab untuk capaian kinerja rehabilitasi hutan dan lahan.

Program Manajer Pattiro Bejo Untung menuturkan sinergi antara dua direktorat jenderal itu harus dilakukan karena ada keterkaitan yang sangat erat antara rehabilitasi hutan dan lahan dengan perhutanan sosial.

Rehabilitasi hutan dan lahan kritis akan sukses jika ada keterlibatan dari masyarakat, di mana saat ini Ditjen PSKL memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat di dalam mengelola hutan.

Menurut dia, jika sinergi itu dapat terjadi, maka Ditjen PDASHL juga akan terbantu dalam mencapai capaian target rehabilitasi hutan dan lahan kritis sebesar 5,5 juta hektar sebagaimana ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Selain itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi yang sejak 2017 dikelola oleh provinsi, maupun sisa Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi sampai dengan 2016 yang masih mengendap di rekening kas kabupaten atau kota yang jumlahnya sekitar Rp 4,8 triliun.

Penggunaan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi perlu dioptimalkan untuk mendukung perhutanan sosial di daerah.

Maya juga mendorong penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dapat dilakukan secara partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan pemberdayaan masyarakat.

Salah satu rekomendasi adalah pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan oleh pemerintah provinsi dilakukan secara swakelola dengan melibatkan partisipasi masyarakat, kelompok perempuan dan kelompok rentan lain berdasarkan ketentuan peraturan pengadaan barang dan jasa, yakni Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Baca juga: LSM dorong perluasan penggunaan dana reboisasi

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018