Surabaya (ANTARA News) - Kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke kampus C Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jatim, Selasa (4/9), agaknya "dimanfaatkan" ratusan mahasiswa. Para aktivis mahasiswa yang "memanfaatkan" kunjungan Kepala Negara itu adalah Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan dan Aliansi Mahasiswa Penyambung Lidah Rakyat (Ampera). Mereka pun menggelar aksi demonstrasi di kawasan Jalan Kertajaya Indah Timur, Surabaya, dalam radius 1-2 kilometer dari kampus C sejak pukul 08.00 WIB. "Kami menolak rencana pemerintah melegalkan RUU BHP, karena tidak memihak rakyat. Kami menuntut pendidikan murah dan bukan menghisap darah rakyat," kata Ketua Umum Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan, Wahyu Budi Setiawan. Oleh karena itu, katanya, pihaknya menggelar aksi demo untuk meminta Presiden Yudhoyono menolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan mendesak pemerintah untuk memberikan pendidikan murah dan berkualitas kepada rakyat mulai dari SD hingga universitas. "Sebagai solusi, kami menganjurkan pemerintah kembali pada Syariah Islam dan menegakkan Daulah Khilafah untuk menyelesaikan permasalahan umat," katanya. Hal senada diungkapkan Juru Bicara Ampera, Riyo Juniadi. "Kami minta pemerintah menasionalisasi aset negara, menghapus utang luar negeri, dan keluar dari keanggotaan IMF (International Monetary Fund)," katanya. Dalam kaitan itu, Ampera menuntut realisasi anggaran pendidikan 20 persen dan pelayanan kesehatan secara gratis pada rakyat, serta menolak kenaikan harga sembako. Menanggapi aksi di ring 3 yang dijaga 12 SSK atau 1.000 polisi itu, belasan perwakilan dari ratusan demonstran itu akhirnya diterima Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng. Namun, dialog mereka tidak membuahkan kesepakatan apa pun, karena Andi Malarangeng menyerahkan masalah RUU BHP kepada keputusan presiden, sedangkan mahasiswa tetap menolak RUU BHP. Penolakan yang agak "lunak" datang dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Ormas keagamaan itu meminta revisi untuk RUU BHP dan Peraturan Presiden (Perpres) 77 Tahun 2007. "Kedua produk hukum itu menjadikan pendidikan sebagai suatu komoditas yang mahal dan membuka penanaman modal asing untuk pendidikan," kata Wakil Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah, Prof Dr Edy Suandi Hamid, di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan (3/9) Tanggapan Presiden Pro-kontra RUU BHP itu agaknya ditanggapi juga oleh Presiden Yudhoyono dalam kuliah umum di kampus C Unair Surabaya yang bertajuk "Kemandirian Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Global" (4/9). Namun, penolakan RUU BHP itu ditanggapi presiden dengan merujuk pada pernyataan sikap BEM Unair secara tertulis melalui Sekretaris Kabinet (Seskab) Letjen TNI (Purn) Sudi Silalahi, yang juga ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Unair. Dalam pernyataan sikap tertulis itu, BEM Unair menyoroti isu yang sama dengan demonstran yakni masalah anggaran pendidikan 20 persen yang belum dipenuhi pemerintah dan masalah RUU BHP yang membuat pendidikan menjadi mahal. "Sistem baru itu memang selalu mengundang pro dan kontra, sistem baru itu tidak ada yang diterima dengan pro dan pro. Tapi, saya setuju kalau mahasiswa bersikap kritis," katanya. Oleh karena itu, kritik mahasiswa perlu disikapi dengan sistem baru yang transparan, sesuai dengan kondisi yang tidak dipaksakan, dan kekurangan yang muncul diusahakan untuk ditutupi. "Kalau anggaran pendidikan 20 persen, maka kita juga melihat kemiskinan, pengangguran, dan program mendesak lainnya, karena itu anggaran pendidikan yang penting bukan angka, tapi kita harus mengarah ke sana (20 persen) dengan transparan, bukan bocor di mana-mana," katanya. Senada dengan itu, Dirjen Dikti Depdiknas, Prof Ir Satryo Sumantri Brodjonegoro ketika dikonfirmasi ANTARA mengatakan, RUU BHP memang banyak disalahpahami. "RUU BHP itu justru memposisikan pendidikan secara adil. Masak mereka yang mampu dan tidak mampu diharuskan membayar dengan nilai yang sama. Itu tidak adil," katanya menjelaskan. Oleh karena itu, mereka yang mampu harus membayar pendidikan dengan mahal, tapi mereka yang tidak mampu akan dijamin untuk tetap bisa kuliah. "Jadi, RUU BHP itu tidak akan membuat mereka yang tidak mampu tidak bisa kuliah. Mereka akan tetap bisa kuliah," katanya menegaskan. Pendidikan gratis, katanya, justru tidak adil, karena hal itu akan menguntungkan mereka yang mampu. "Yang mampu harus bayar mahal, tapi yang tak mampu akan tetap dijamin agar jangan sampai tidak bisa meneruskan kuliah," katanya. (*)
Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Copyright © ANTARA 2007