Pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk Rully Nova di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa imbal hasil obligasi Amerika Serikat yang berada di atas 3 persen masih menjadi sentimen negatif bagi kurs rupiah.
"Imbal hasil obligasi AS itu masih menjadi daya tarik investor di negara berkembang, sebagian investor cenderung memindahkan dananya sehingga membebani fluktuasi rupiah," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, kuatnya peluang the Fed untuk menaikan suku bunganya pada akhir tahun ini turut menjadi beban bagi mata uang rupiah.
"Pelemahan juga terjadi pada mata uang negara tetangga karena sentimen the Fed itu," katanya.
Kendati demikian, lanjut dia, Bank Indonesia yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" di 5,75 persen diharapkan dapat menurunkan defisit transaksi berjalan.
"Defisit transaksi berjalan merupakan salah satu faktor negatif bagi rupiah," katanya.
Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada hari ini (23/10), tercatat mata uang rupiah melemah menjadi Rp15.208 dibanding sebelumnya (22/10) di posisi Rp15.192 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah tertekan ketidakpastian pasar keuangan Eropa
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2018