Kebenaran faktual, politik dan uang adalah tiga variabel utama yang senantiasa bertaut dalam setiap peristiwa besar yang menjadi sorotan media massa kapan pun di mana pun.
Kebenaran sering dipertaruhkan, artinya: sesekali perlu dikorbankan ketika kepentingan politik yang lebih besar harus dimenangkan. Memalsukan atau menutup-nutupi kebenaran membutuhkan biaya dan penyangga berupa kekuatan politik.
Mengapa seseorang atau kelompok kekuatan politik harus memalsukan, menutup-nutupi kebenaran faktual? Banyak alasan di balik tindakan memanipulasi kebenaran.
Belakangan ini, ada dua kejadian dramatis yang menautkan tiga variabel kebenaran, politik dan uang. Yang pertama adalah drama pembohongan Ratna Sarumpaet, yang sesungguhnya merupakan peristiwa banal untuk dikupas karena lebih banyak anasir kenistaan etisnya. Yang kedua adalah tragedi pelenyapan Jamal Khashoggi, wartawan kawakan Arab, yang berlangsung di gedung Konsulat Arab Saudi.
Dalam kedua peristiwa dramatis itu, ada kekuatan yang mencoba, sekali lagi mencoba, untuk menangguk keuntungan politik dengan mengabaikan kebenaran. Sayangnya, pada akhirnya, kebenaran itu tak lagi bisa ditutup-tutupi, disembunyikan, setelah berbagai kekuatan yang lebih besar, yakni pemangku kepentingan kebenaran faktual seperti pers independen, aparat keamanan dengan perangkat teknologi pendukungnya, dan suara publik lewat kanal-kanal media sosial bersinergi mengungkap kebenaran yang hendak dipalsukan, dimanipulasi itu.
Ketika kebohongan Ratna Sarumpaet pertama kali digaungkan oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon lewat akun Twitternya bahwa aktivis itu dianiaya oleh orang tak dikenal, pesan intrinsik yang mengemuka adalah: ada orang jahat yang melukai salah satu anggota tim pemenangan salah satu kubu kontestan Pilpres 2019 itu.
Bisa ditebak arah yang hendak disasar oleh cuitan politikus itu, bahwa si penganiaya kemungkinan besar adalah orang yang berseberangan kubu dengan sang perempuan aktivis itu.
Dalam kasus pembunuhan Khashoggi, meskipun tali-temalinya jauh lebih kompleks dan begitu luas cakupan kepentingan politiknya, secara esensial berbicara tentang percobaan mencapai kepentingan politik minus etik.
Dalam konteks ini, Khashoggi adalah pengkritik kebijakan penguasa de facto Arab Saudi yang dijalankan Muhammad bin Salman. Kritik-kritik Khashoggi terhadap kebijakan Putra Mahkota yang berkaitan dengan penangkapan dan pembungkaman terhadap aktivis demokrasi di Arab Saudi, keterlibatan negara kaya minyak itu dalam perang di Yaman dianggap mendeskreditkan reputasi penguasa itu.
Maka dikirimlah sebanyak 15 pasukan pengawal elite kerajaan untuk diterbangkan ke Turki. Nama-nama mereka terekam dalam dokumen imigrasi Turki dan pada 2 Oktober 2019, ke-15 aparat keamanan dan ahli forensik serta autopsi kerajaan Saudi itu siap menerima kehadiran Khashoggi yang hendak mengambil berkas administrasi untuk rencana perkawinannya dengan tunangannya warga Turki Hatice Cengiz.
Siang hari setelah menyerahkan gawainya kepada sang tunangannya yang menanti di luar gedung Konsulat Saudi di Istanbul, Khashoggi masuk ke bangunan bertingkat enam itu. Sejak itu kolumnis The Washington Post yang mengasingkan diri dan menjadi penduduk tetap di AS itu tak pernah keluar dari gedung konsulat.
Pejabat keamanan dan intelejen Turki mengatakan kepada pers bahwa Khashoggi dibunuh di dalam gedung konsulat dan jasadnya dipotong-potong. Pemerintah Arab Saudi menanggapi bahwa Khashoggi sudah keluar dari gedung konsulat dan hilang sejak itu.
Pertarungan wacana antara pejabat Turki dan Arab Saudi tentang lenyapnya jasad Khashoggi itu berlangsung tak kurang dari dua pekan sampai akhirnya muncul pengakuan dari Kerajaan Saudi bahwa Khashoggi tewas setelah perkelahian alias adu jotos di konsulat.
Pangakuan pejabat Arab Saudi itu tentu belum menghentikan tanda tanya publik. Bagaimana mungkin sebuah perkelahian di konsulat bisa menimbulkan kematian. Apakah konsulat itu tidak memiliki petugas keamanan yang bisa mencegah kematian seseorang yang sedang bekelahi?
Lalu bagaimana pejabat Arab Saudi menjelaskan tentang hilangnya jasad Khashoggi yang telah tewas itu? Pertanyaan ini pun melahirkan jawaban yang absurd: bahwa jasadnya sudah diserahkan ke warga lokal Turki dan entah dibuang ke mana.
Pernyataan yang absurd sebagai jawaban atas pertanyaan yang sederhana sering merupakan kegagapan politikus mencoba bertahan dengan kebenaran yang hendak disembunyikannya. Absurditas semacam ini juga terjadi dalam konteks perkara Ratna Sarumpaet.
Cepat atau lambat, kebenaran itu akan terungkap. Dua peristiwa drama, yang bisa berupa drama semata atau sekaligus dramatis tragis, agaknya mengandung pesan substansial bagi para politikus: bahwa politik tanpa etik selalu menelikung pelakunya.
Meraih kekuasaan seperti kursi kepresidenan mestilah dilakukan dengan tahap-tahap yang minus manipulasi kebenaran. Begitu juga mempertahankan kekuasaan haruslah ditempuh dengan laku etis. Membungkam pengkritik yang paling adab adalah menjawabnya dengan memperbaiki keadaan yang dikritik. Bukan melenyapkan pengkritiknya.
Politik agaknya oleh sebagian politikus masih dimaknai sebagai siasat, muslihat, tipu daya buat merebut dan mempertahankan kekuasaan. Siasat, muslihat dan tipu daya jelas merupakan tindakan tak bermoral sekalipun tak secara langsung menyangkut hilangnya nyawa. Hal seperti itu adalah sebentuk korupsi politik, yang ujung-ujungnya bisa sampai ke muara pelenyapan lawan politik juga.
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018