"Ancaman terselubung menggunakan minyak sebagai senjata pada dasarnya mengikat tangan-tangan AS"

New York (ANTARA News) - Minyak berjangka sedikit berubah pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB) setelah memangkas kerugian awal meskipun Arab Saudi berjanji akan meningkatkan produksi minyak mentahnya ke rekor tertinggi, dua minggu sebelum sanksi-sanksi AS berpotensi mencekik pasokan Iran.

Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih, mengatakan kepada kantor berita Rusia, TASS, bahwa negaranya tidak berniat meluncurkan embargo minyak bergaya seperti pada 1973 kepada konsumen di negara-negara Barat, tetapi lebih difokuskan pada peningkatan produksi untuk mengkompensasi kehilangan pasokan di tempat lain, seperti Iran.

Falih mengatakan Arab Saudi akan segera meningkatkan produksi menjadi 11 juta barel per hari (bph) dari 10,7 juta barel per hari saat ini. Dia menambahkan bahwa Riyadh memiliki kapasitas untuk meningkatkan produksi hingga 12 juta barel per hari.

"Harga minyak seimbang dalam sesi perdagangan hari ini, meskipun Saudi berjanji untuk meningkatkan produksi. Ini masih belum merupakan kesimpulan awal bahwa peningkatan produksi kerajaan akan cukup untuk mengkompensasi hilangnya produksi potensial dari Iran dan Venezuela," kata Analis Energi Senior di Interfax Energy, Abhishek Kumar, di London, seperti dikutip Reuters.

Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember naik lima sen AS menjadi menetap di 79,83 dolar AS per barel. Sementara minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November, juga naik lima sen AS menjadi ditutup di 69,17 dolar AS pada hari terakhirnya untuk kontrak berjangka bulan depan. Dalam perdagangan sepanjang hari, WTI sempat jatuh ke serendah 68,27 dolar AS, terendah sejak 14 September.

Sementara itu, beberapa anggota parlemen AS, telah menyarankan penjatuhan sanksi-sanksi terhadap Arab Saudi atas pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Saudi sebagai pengekspor minyak terbesar dunia, berjanji untuk membalas sanksi-sanksi apa pun dengan tindakan-tindakan yang lebih besar.

"Keraguan Gedung Putih menjadi penekanan keengganan Pemerintahan Trump untuk mengambil tindakan yang berarti terhadap Riyadh, hanya beberapa minggu sebelum sanksi-sanksi AS mulai berlaku," kata Fiona Cincotta, analis pasar senior di City Index, melalui perusahaan jasa perdagangan daring Gain Capital, dalam sebuah catatan.

"Ancaman terselubung menggunakan minyak sebagai senjata pada dasarnya mengikat tangan-tangan AS. Investor sedang mengawasi dan menunggu bab berikutnya, sebelum menyesuaikan posisi mereka," kata Cincotta.

Sanksi-sanksi AS terhadap sektor minyak Iran dimulai pada 4 November, dan para analis percaya hingga 1,5 juta barel per hari pasokan bisa berisiko.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) setuju pada Juni untuk meningkatkan pasokan guna menutupi gangguan yang diperkirakan terhadap ekspor Iran.

Sebuah dokumen internal yang ditinjau oleh Reuters menyatakan bahwa OPEC sedang berjuang untuk menambah barel karena peningkatan pasokan Saudi diimbangi oleh penurunan di tempat lain, termasuk Iran dan Venezuela. Sementara itu, prospek permintaan tahun depan memburuk.

OPEC memperkirakan permintaan untuk minyak mentahnya akan jatuh ke rata-rata 31,8 juta barel per hari pada tahun depan, dari rata-rata 32,8 juta barel per hari tahun ini. Baca juga: harga minyak naik dipicu isyarat lonjakan permintaaan China

Baca juga: Wall Street dibuka bervariasi, saham energi dan keuangan melemah

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018