Satu ekor ikan bilih bisa bertelur sampai 5.000 telur, dan daya tetasnya sampai 90 persen. Namun durasinya pendek, sekitar 20 jam selama reproduksi.
Kendati gerimis turun di Danau Singkarak dan menyamarkan riak sejak fajar menyingsing, di Nagari Sumpu, desa di tepian danau itu, mendung masih bergelayut. Tapi orang-orang sudah turun dari rumah mereka, pergi ke kota, ke sawah, ke sekolah, dan ke muara.
Nagari Sumpu merupakan nagari yang berada di Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa ini tepat berada di tepi Danau Singkarak yang memiliki lima jorong, yakni Jorong Suduik, Nagari, Subarang Aie Taman, Kubu Gadang, dan Batu Baraguang.
Hendri, Ketua Pemuda Jorong Subarang Aie Taman, turun dari rumah gadangnya memanggul jala. Sehari-hari ia mengurus ladang bawangnya di tepi sungai Batang Sumpu. Sesekali ia ke Muara, menebar jala, mencari ikan bilih yang mulai tersisih.
Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), merupakan ikan endemik Danau Singkarak yang berukuran sekitar 6-12 centimeter. Ikan tersebut dapat ditemui di selingkar Danau Singkarak, yang berada di dua kabupaten, yakni Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Namun belakangan, ikan tersebut sudah semakin sulit didapat, tangkapan nelayan tinggal sedikit, dan harga jual pun melonjak.
"Ikan bilih sekarang sudah susah dicari, sekali menjala hanya 3-4 ekor saja yang didapat, makanya nelayan sekarang juga banyak alih profesi," kata Hendri saat mencoba menjala ikan bilih di Muara Sumpu, Ahad (21/10).
Menurutnya, empat tahun lalu, ia masih bisa melihat sekumpulan ikan bilih berenang-renang di Muara sebelum ia menebar jala. Tapi sekarang, hanya sedikit yang terpantau.
"Sekarang banyak ikan nila di danau, ketimbang menangkap bilih yang hanya sedikit, lebih baik menangkap ikan nila," katanya.
Bahkan, kata dia, metode penangkapan bilih tradisional menggunakan "alahan" (media penampungan bilih di sungai) sudah tidak digunakan lagi karena tidak efisien. Ikan bilih merupakan ikan yang melakukan pemijahan dengan menyongsong aliran sungai yang bermuara ke danau.
Sejak dulu, kata Hendri, warga Nagari Sumpu sudah melestarikan ikan bilih dan menjadi kearifan lokal dengan membuat sejumlah peraturan bagi nelayan, di antaranya tidak boleh menggunakan putas, setrum, menggunakan jaring langli (pukat) bahkan tidak ada yang memasang bagan yang mampu menangkap anak-anak ikan bilih.
Akibat populasi ikan bilih yang berkurang drastis, Nagari Sumpu menambah peraturan di daerah mereka, yakni warga luar Nagari Sumpu dilarang melakukan penangkapan ikan di sepanjang Batang Sumpu dengan cara/alat apapun. Bagi yang melanggar, akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
"Seandainya selingkar Danau Singkarak ini memberlakukan peraturan yang sama, pasti ikan bilih ini masih banyak. Tapi sekarang hanya kita yang menjaga, orang lain yang mendapatkan," katanya.
Hendri juga mengaku tidak tahu pasti penyebab utama berkurangnya populasi ikan bilih, selain karena penangkapan yang berlebihan. Ia sangat miris dengan kondisi sekarang, karena ikan bilih sudah menjadi makanan dan sumber mata pencarian mereka secara turun temurun.
Dapur Bilih Goreng pun sudah tidak ditemukan lagi di daerah itu, semuanya tutup. "Rasa ikan bilih yang ditangkap di Muara Sumpu ini khas, gurih dan manis, berbeda dengan bilih di luar Sumpu," katanya.
Sementara itu, di tepian Danau Singkarak lainnya, yakni di Ombilin, Dapur Bilih Goreng juga mulai banyak yang tutup. Harga jual pun melonjak.
"Sekarang ikan bilih lagi kurang, harganya sekilo Rp120 ribu untuk yang mentah, untuk yang goreng Rp400 ribu/kilogram," kata Mardianis, pedagang bilih goreng di Ombilin.
Mardianis mengakui, lebih banyak nelayan menyetor ikan nila ke dapurnya dibandingkan bilih. Dalam sehari, katanya, ikan nila bisa berkarung-karung datang.
Pembeli pun, kata dia, ikut berkurang dan mengeluh karena mahalnya harga ikan bilih melebih harga daging sapi. Tapi kendati demikian, masih ada sesekali konsumen yang memang sengaja mencari bilih dan membelinya walaupun harganya mahal.
Tidak terpelihara
Peneliti Ikan Bilih Universitas Bung Hatta Padang, Prof Hafrijal Syandri, menjelaskan ikan bilih ini satu-satunya di dunia hanya ada dan hidup di Danau Singkarak.
Sejak tahun 90-an sampai tahun 2000, kata dia, populasi ikan bilih cukup tinggi, namun sejak tahun 2000 sampai sekarang ikan bilih sudah sulit didapat.
"Kenapa populasinya berkurang, karena penangkapan yang tidak selektif. Ukuran mata jaringnya semakin kecil, ikan yang ditangkap pun semakin kecil," katanya.
Ia menjelaskan empat tahun belakangan, berkembang alat tangkap bagan untuk menangkap ikan bilih, menggunakan cahaya dengan ukuran mata jaring jaring selebar dua milimeter. Akibatnya, ikan bilih yang kecil juga tertangkap.
Akhirnya, kata Hafrijal, ikan bilih tidak bisa berkembang, tidak bisa lagi kawin, memijah, sehingga tidak ada lagi populasi baru di Danau Singkarak, sementara penangkapan ikan terus berlangsung.
"Kalau kita lihat, bagan itu sekarang tidak ada lagi hasilnya karena ikan bilih sudah sedikit. Seharusnya penanganan ikan bilih itu berkelanjutan, karena untuk anak cucu kita," katanya.
Menurut Hafrijal, upaya untuk pelestarian bilih tersebut sudah ada yakni Pergub No.81/2017, isinya melarang alat tangkap bagan beroperasi di Danau Singkarak. Tapi menurutnya peraturan itu masih lemah, dan tidak melarang beroperasinya jaring tangkap insang.
"Kita juga harus memberikan kesadaran kepada masyarakat, terutama nelayan, bahwa ikan bilih itu sudah berkurang dan harus dilestarikan, dan jangan ditangkap dengan cara yang tidak sesuai aturan," ujarnya.
Upaya lain, melakukan konservasi di luar habitat. Pihaknya bersama PT Semen Padang, sejak enam bulan lalu, mencoba memindahkan ikan bilih dari Danau Singkarak ke sungai dan kolam di Taman Keanekaragaman Hayati PT Semen Padang, di Indarung, Padang.
Ketua Tim Konservasi Ikan Bilih PT Semen Padang, Deni Zen mengatakan, ikan bilih yang hanya ada di Danau Singkarak itu, kini hampir punah tidak berkembangbiak dengan baik. Karena itu pihaknya terpanggil untuk berupaya menyelamatkan populasi bilih.
Awalnya, bersama Universitas Bung Hatta mempelajari lokasi berkembangnya Ikan Bilih seperti di Sumpu. Analisa itu dilakukan mulai dari pemeriksaan kadar air, ketinggian Taman Kehati Semen Padang dari permukaan laut, sumber makanan, serta menebar 400 ekor ikan bilih. Dari analisa itu, kata Deni, diketahui bahwa alam Taman Kehati di Indarung tidak jauh berbeda dengan Sumpu, Singkarak.
Sebelumnya, pihaknya berusaha mencari ikan bilih menggunakan metode alahan di Nagari Sumpu. Namun yang didapatkan hanya dua ekor saja. Kemudian, barulah ia mendapatkan bilih dari Nagari Paninggahan, Kabupaten Solok, kemudian ditebarkan di Indarung.
"Sampai sekarang, ikan bilihnya masih hidup di sungai dan kolam Taman Kehati ini. Bahkan ada 10 ekor ikan bilih yang dimasukan ke akuarium masih sehat sampai sekarang," katanya.
Menurutnya, ikan bilih termasuk ikan yang mudah stres. Saat dibawa dari Singkarak ke Padang, pihaknya memperlakukan ikan bilih tersebut secara khusus agar tidak mati melewati perjalanan darat.
Deni menjelaskan, siklus hidup ikan bilih, yakni mencari makan di danau, lalu naik ke sungai untuk kawin dan memijah, selanjutnya di sungai dia akan bertelur, maka telurnya mengalir lagi ke dalam danau.
"Satu ekor ikan bilih bisa bertelur sampai 5.000 telur, dan daya tetasnya sampai 90 persen. Namun durasinya pendek, sekitar 20 jam selama reproduksi," katanya.
Namun demikian, pihaknya masih meneliti apakah bilih yang ditebar di sungai dan kolam Indarung tersebut bisa memijah, karena media seperti aliran sungai di Sumpu dan Paninggahan itu tidak ada.
Jika bilih bisa memijah di luar habitat mereka, kata Deni, maka ke depan ikan bilih tidak hanya ada di Singkarak, tapi juga ada di daerah lainnya.*
Baca juga: Sumbar buat aturan untuk selamatkan ikan bilih
Pewarta: Ikhwan Wahyudi dan Igoy El Fitra
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018