Apakah hal ini nantinya dinilai melanggar atau tidak kita serahkan kepada Bawaslu."Jakarta (ANTARA News) - Warga masyarakat Dahlan Pido didampingi Advokat Nusantara mengadukan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena diduga melakukan pelanggaran pemilu saat penutupan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali, Minggu (14/10).
"Ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara, Luhut Binsar Pandjaitan dan Sri Mulyani, dugaan pelanggaran menyebutkan identitas pasangan calon, Jokowi nomor satu," kata Dahlan Pido di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis.
Ia membawa bukti berupa pemberitaan media yang ada dan sebuah disket yang berisi gambar video saat kejadian tersebut.
Dahlan menjelaskan, pelanggaran dugaan terjadi saat sesi foto bersama Direktur IMF Christine Lagarde, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, Menko Luhut dan Menkeu Sri Mulyani serta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjio.
Dalam sesi foto tersebut, Menko Luhut dan Menkeu Sri Mulyani dinilai telah mengarahkan Direktur IMF dan juga Presiden Bank Dunia tidak berpose dengan dua jari (victory) namun dengan satu jari, dan menyatakan satu untuk Jokowi, katanya.
"Ada sedikit kejadian di mana direktur IMF dan World Bank itu akan menunjukan jari awalnya dua, lalu dikoreksi oleh Pak Luhut dan Ibu Sri Mulyani," katanya.
Dalam kejadian yang terekam dalam video tersebut Menkeu mengucapkan,"Jangan pakai dua, bilang not dua, not dua, not dua." Sementara Menko Luhut mengatakan kepada Direktur IMF "No, no, no, not two, not two". Kemudian Menkeu mempertegas,"Two is for Prabowo, and one is Jokowi."
Hal itu, katanya, patut diduga terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan pejabat negara dengan mengarahkan pada pasangan calon presiden nomor 1, Jokowi - Ma'ruf Amin, sesuai dengan UU no 7/2017 tentang Pemilu pasal 282 dan pasal 283 ayat 1 dan 2.
Dalam pasal 282 dinyatakan pejabat negara dilarang membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu.
Pasal 283 ayat 1 memuat larangan pejabat negara mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan untuk salah satu peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah kampanye.
Sementara ayat 2, menerangkan larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatus sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
Ancaman hukuman terhadap pelanggaran atas pasal tersebut, tiga tahun penjara dan denda paling banyak Rp36 juta, sesuai pasal 547 UU Pemilu, kata Dahlan.
Kuasa hukum dari Advokat Nusantara yang mendampingi Dahlan, M Taufiqurrahman mengatakan, tindakan tersebut patut diduga sebagai ajakan dan himbauan untuk mengarahkan pada salah satu pasangan calon presiden dan merugikan calon lainnya.
"Apakah hal ini nantinya dinilai melanggar atau tidak kita serahkan kepada Bawaslu," katanya.
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018