"Saat ini orang secara alamiah sebetulnya konsumen telah beralih ke pertalite. (Konsumen) premium tinggal 10-20 persen saja," kata Faisal Basri di University Club, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu.
Mempertimbangkan tren penurunan konsumsi tersebut, menurut Faisal, seharusnya pemerintah tidak perlu ragu untuk melakukan evaluasi dengan menyesuaikan harga BBM jenis premium seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.
"Karena pada dasarnya masyarakat tidak perduli mau harga minyak dunia naik atau tidak yang penting dia beli dengan harga segitu, tidak ada keinginan menghemat. Kita lihat di SPBU-SPBU di Jakarta kita lihat orang lebih banyak beli pertamax," kata mantan anggota Satgas Pemberantasan Mafia Migas ini.
Tanpa adanya penyesuaian harga BBM premium, di sisi lain akan memberikan beban keuangan pada Pertamina mengingat premium tidak lagi disubsidi oleh pemerintah.
Oleh sebab itu, ia sepakat aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengevaluasi harga BBM setiap tiga bulan sekali tetap terus dilaksanakan.
"Aturannya sebetulnya sudah bagus dengan dievaluasi atau ditinjau setiap tiga bulan, hanya saya harap itu bisa terus dilaksanakan. Tapi jangan sampai (harga) cuma ditinjau saja tetapi tidak ada perubahan," kata dia.
Sebelumnya Menteri Energi, dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium menjadi Rp7.000 per liter pada Rabu (10/10) di Bali. Kenaikan harga itu, kata Jonan, akan berlaku di Jawa, Madura, dan Bali.
Namun hampir satu jam kemudian, keputusan itu dibatalkan karena masih membutuhkan kajian dan evaluasi Pertamina bersama Pemerintah berkaitan dengan daya beli masyarakat serta pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Presiden jelaskan alasan pembatalan kenaikan harga BBM premium
Baca juga: Kementerian ESDM : harga Premium batal naik
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2018