Jakarta (ANTARA News) - Natarini Setianingsih (34) sudah bisa menyunggingkan senyum pada semua orang tanpa ganjalan. Rasa sakit yang pernah dia rasakan belasan tahun silam tak lagi muncul.

Perempuan yang sekarang bekerja di bagian publikasi jurnal ilmiah rumah sakit kanker Dharmais, Jakarta (The Indonesian Journal of Cancer, official journal of the Dharmais Cancer Center Hospital) itu sudah lepas dari jeratan leukemia yang hadir saat usianya baru 12 tahun.

Rini tak pernah menyangka bisa menderita penyakit yang 19 tahun silam begitu asing dan relatif jarang diderita anak-anak seusianya. Satu hal yang lantas terbayang dibenaknya adalah kematian.

"Kaget, karena sebelumnya saya tahu penyakit leukemia dari tetangga. Apalagi di tahun 1996, jarang yang namanya kanker. Saya berpikir bisa sembuh enggak ya. Terbayangnya kematian, karena ini penyakit ganas," tutur dia di Jakarta, Selasa.

Rini yang tinggal di Pandeglang, Banten bersama sang bunda akhirnya pergi ke Jakarta untuk berobat. Tiga tahun lamanya dia harus bolak-balik Jakarta-Pandeglang menggunakan moda bis.

"Saya dari rumah ke RSCM pakai bis dari Pandeglang, Banten. Jam 5 subuh naik bis ke Jakarta untuk kemoterapi. Ya, efek kemoterapi kan muntah, mual," tutur Rini.

Baca juga: Jenis kanker pada anak selain leukemia

Awalnya pucat dan panas

Sebelum mendapat diagnosa leukimia, Rini beberapa kali mengalami panas yang tak datang kambuhan. Wajahnya pun pucat.

Dokter sempat mendiagnosanya terkena Malaria bahkan bermasalah pada liver karena wajahnya menguning dan pucat seiring waktu.

"Waktu itu kelas 1 SMP, habis pembukaan siswa baru, agak digojlok. Nge-drop. Wajah pucat, demam. Lalu dikasih paracetamol. Agak reda tetapi besoknya ada lagi. Dibawa ke dokter dibilangnya malaria. Ke dokter satu lagi karena pucat dan kuning dibilangnya liver," papar Rini.

Ibunda Rini yang curiga pada kondisi putrinya lalu membawanya ke dokter spesialis penyakit dalam di Pandeglang. Setelah pemeriksaan, barulah muncul diagnosa leukemia.

Spesialis anak sekaligus konsultan onkologi dari rumah sakit kanker Dharmais, Jakarta, dr. Mururul Aisyi, Sp A(K) mengatakan pucat dan panas adalah dua dari tiga gejala utama seseorang terkena leukemia. Diagnosa leukimia bisa semakin menguat bila dtemukan adanya pendarahan di organ tubuh.

Pengobatan termasuk kemoterapi dan radiasi harus Rini jalani. Rasa sakit, efek kemoterapi seperti rambut rontok, mual dan muntah dia tahan.

"Di radiasi 11 kali, kemoterapi 6 kali selama 2 tahun. Kondisi fisik waktu itu lumayan memprihatikan. Saya mending sakit karena kemo daripada kankernya, kayaknya enggak ada ujungnya kalau kanker," kata dia.

Masa-masa di sekolah menengah pertama pun terpaksa dia korbankan demi pengobatan. Rini tak menampik pernah merasa bosan dan ingin menyerah pada penyakitnya.

"Harusnya bisa main sama teman-teman. Saya cuti sekolah tiga bulan. Dikejar sama ulangan susulan. Ada di tengah-tengah bosan, capek ke rumah sakit. Di situ ibu menyemangati, sudah setengah jalan masa mau nyerah," kata Rini.

Setelah tiga tahun yakni pada 1999 dia dinyatakan pulih dari kanker. Kendati sudah pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa, Rini mengaku tetap melakukan pemeriksaan kesehatan setiap tahun.

Baca juga: Kanker darah bukan penyakit keturunan

Pola hidup usai pulih dari leukemia

Rini mengaku menjalani pola hidup sehat usai dirinya pulih dari leukemia, semisal berolahraga rutin, menjaga pola makan dan beristirahat cukup.

Untuk olahraga dia memilih senam dan bersepeda. Sementara untuk asupan makanan, dia menghindari makanan instan, membatasi asupan gula, garam dan lemak serta memperbanyak jus sayuran.

"Jus sayur-sayuran, sarapam sereal, untuk kenyamanan diri. Sekarang bisa berkegiatan normal seperti travelling. Saya enggak mau mengambil risiko makan makanan enak tetapi efeknya enggak bagus untuk badan. Mending saya hindari. Saya pernah sakit dan itu enggak enak," papar Rini yang sekarang mengaku lebih menikmati hidupnya itu.

Baca juga: Kanker darah pada anak cenderung lebih cepat disembuhkan

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018