Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 100 warga yang tinggal di kolong Jalan Tol di Jakarta Utara dan Jakarta Barat berunjuk rasa di depan Departemen Pekerjaan Umum (PU), dengan menawarkan konsep "Geser, Bukan Gusur" kepada pemerintah.
"Kami di sini menawarkan konsep tersebut, yaitu agar pembangunan rumah susun (rusun) dilakukan di lahan kosong yang ada di sekitar jalan tol dan bukannya menggusur warga ke Rusun Marunda," kata koordinator demo dari Urban Poor Consorsium (UPC), Edi Saidi di Jakarta, Senin.
Menurut Edi Saidi, Rusun Marunda yang telah disediakan pemerintah untuk warga kolong jalan tol memiliki berbagai kelemahan, yaitu lokasinya yang terpencil dari tempat kerja, kurang lengkapnya prasarana dan fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, dan pasar.
Selain itu, Edi mengemukakan bangunan rusun tersebut memiliki konstruksi yang terindikasi tidak layak huni, seperti terdapatnya bagian yang retak, melengkung, dan bocor.
"Kami juga menyesalkan, Rusun Marunda tidak akan jadi hak milik tetapi para penghuninya dikenakan sewa Rp90.000 - Rp120.000 per bulan," katanya.
Mengenai uang kerohiman sebesar Rp1 juta yang diterima warga, Edi menuturkan jumlah tersebut tidak memadai untuk membiayai sebuah hidup baru baik di ibukota maupun di kampung asal warga yang terletak di luar Jakarta.
"Kalau dihitung-hitung, Rp1 juta hanya bisa untuk memenuhi sewa rumah sampai empat bulan bila biaya sewanya Rp250.000 perbulan. Belum lagi pengeluaran yang lain," kata Edi.
Berdasarkan pantauan ANTARA, aksi tersebut berlangsung secara damai dan sebagian diikuti oleh kaum ibu dan anak-anak.
Spanduk besar bertuliskan "Digeser, tidak Digusur" dipampangkan di barisan depan pengunjuk rasa. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu yang liriknya "diplesetkan" menjadi kalimat bernada antipenggusuran.
Siti Aminah (32), warga Rawabebek, Jakarta Utara, yang ikut menjadi peserta unjuk rasa, menyayangkan adanya penggusuran karena ia merasa sudah membayar biaya bulanan dan iuran sampah setiap bulannya.
Unjuk rasa yang dimulai pada pukul 11.00 WIB itu pada awalnya akan dilangsungkan di dalam lingkungan Departemen PU, tetapi aparat kepolisian tidak mengizinkannya sehingga aksi dilangsungkan di jalan raya.
"Kami sebelumnya sudah menghubungi pihak PU agar ada yang sudi berdialog. Bila dengan Menteri PU (Djoko Kirmanto, red) ntidak dimungkinkan, maka dengan Dirjen Bina Marga kami juga siap berdialog," kata Edi. (*)
Copyright © ANTARA 2007