Solo (ANTARA News) - Musibah banjir di Morowali dan bencana lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas di Sidoarjo menjadi perhatian delegasi asal Palu, Sulawesi Tengah, yang tergabung di "Komunitas Seni Tadulako" dalam Solo International Music Etnic Festival and Conference (SIEMFC) yang berlangsung di Benteng Vastenburg, Solo, Minggu malam.
Delegasi asal Palu ini mengemas komposisi berjudul "Lino Padeihina" dalam balutan musik etnik populer. Meski unsur etnik diwakili dominasi sejumlah perkusi, ada bunyi alat musik elektrik menyeruak bebas yang seolah menggambarkan industrialisasi musik di Indonesia.
Pemimpin Komunitas Seni Tadulako, Hapri Ikapoigi mengatakan "Lino Padeihina" berarti alam raya milik kita bersama yang harus dijaga dan tidak boleh disia-siakan. Melalui sajian musik etnik, ia juga ingin mengingatkan penonton tentang pentingnya menjaga alam dan mencegahnya dari ancaman kerusakan yang dapat berujung pada bencana besar.
Komposisi ini juga diperkaya dengan aksi treatikal sepasang penari yang mengeksplorasi instlalasi bentuk kerucut yang terusun dari bambu di belakang para pemain musik. Alat musik yang dimainkan kelompok ini terdirid ari peralatan perkusi dan alat musik modern lain.
"Kerusakan ekologi di negeri kita semakin parah, padahal seharusnya kita berusaha untuk selalu menjaga alam ini dengan kearifan lokal," kata dosen Antropologi Universitas Tadulako ini.
Musibah dan bencana yang dialami negeri ini secara musikal merespon realitas kerusakan ekologi dengan tempo musik yang sedang lantas berjalan cepat.
"Komposisi ini sengaja diletakkan di akhir penampilan kami untuk menjadi klimaks dari keseluruhan musik," ujarnya.
Secara keseluruhan, komunitas Seni Tadulako menghadirkan tiga komposisi yang mereka ciptakan khusus untuk festival musik etnik bertaraf internasional ini. Selain "Lino Padeihina", dua komposisi lainnya adalah "Svara Vunja" dan "Tonda Talusi".
Fitri, penari asal Palu ini menjelaskan "Svara Vunja" adalah musik etnik tradisional yang berisi nyanyian keselamatan. Musiknya sesungguhnya tercipta dari bunyi-bunyian dan benda-benda. Sedangkan dalam "Tonda Talusi", musik etnik kontemporer ini mengadaptasi konsepsi masyarakat adat Kaili, Sulawesi Tengah dalam berperilaku terhadap alam.
"Manusia dan alam adalah kesatuan ekologis, kerusakan alam akan berdampak pada manusia sementara jika manusia memperlakukan alam dengan bijak maka alam juga akan memberikan manfaat besar bagi masyarakatnya," kata Fitri.
Musikalisasi "Tonda Talusi", menurut Fitri mengangkat spirit manusia dan lingkungan yang menjalin komunikasi dan melahirkan hubungan timbal balik dan kreatifitas.
"Pada intinya kami mengangkat tiga tema SIEM, yakni musik etnik tradisi, musik etnik komtemporer, dan etnik entertain dalam tiga komposisi yang dimainkan. Semoga ini bisa menjadi ajang mengenalkan kekayaan musik tradisi Sulawesi Tengah," demikian Hapri. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007