Pemimpin tak cuma dituntut berpose dalam berbagai kesempatan dengan warga kalangan akar rumput atau wong cilik.

Dalam demokrasi ideal substansial, seorang warga yang berhak mencoblos dalam pemilihan umum menggunakan nalarnya untuk menentukan siapa yang layak menjadi anggota legislatif atau presiden.

Warga yang melek politik akan mafhum bahwa pemimpin yang terbaik adalah sosok yang sanggup meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama mereka yang belum sejahtera. Dengan kata lain, pemimpin yang adil adalah pemimpin yang ideal bagi demokrasi.

Namun, kenyataannya, sedikitnya dalam perpolitikan di Tanah Air, masih banyak pemilih yang lebih menggunakan perasaan ketimbang nalar dalam menentukan pilihan politik mereka. Fanatisme personal merupakan variabel yang belum bisa diabaikan dalam praksis politik hingga kini.

Itu sebabnya, menjelang Pemilihan Anggota Legislatif dan Presiden 2019, bisa diprediksi bahwa kampanye yang akan dilakukan, baik di kubu petahana maupun penantang, tak mungkin mengenyampingkan aspek-aspek nonrasional.

Asumsi bahwa kampanye yang mengeksploitasi emosi masih akan dominan dalam perhelatan politik tahun depan bisa disimak dari usul-usul yang pernah diwacanakan oleh pemangku kepentingan politik. Salah satunya adalah usul kepada para kontestan atau tim sukses masing-masing kubu dalam pilpres untuk memanfaatkan pelantun dangdut, seperti Via Vallen, Siti Badria, Cita Citata, sebagai penggaet dan pemikat hati pemilih.

Tampaknya dalam perkara penggaetan suara atau pemikat hati pemilih ini, politik di Tanah Air belum bisa lepas dari tradisi yang sudah dibangun oleh penguasa Orde Baru yang selalu menghadirkan para pelantun dangdut dalam setiap kesempatan kampanye terbuka.

Saat itu pemilu bukan untuk memilih presiden tapi wakil rakyat yang disaring terlebih dulu oleh pengurus parpol sebelum dilempar ke publik untuk dipilih oleh rakyat. Bila saat itu kampanye di lapangan selalu diisi oleh acara-acara hiburan, itu sangat bisa dimengerti. Sebab, publik memang datang ke lokasi kampanye bukan untuk mendengar pidato politik tapi untuk semata-mata mencari hiburan gratis.

Bagi sebagian warga saat ini, alasan untuk mencari hiburan saat acara kampanye boleh jadi masih berlaku. Setidaknya bagi kalangan warga di lapisan akar rumput, tak bisa dielakkan bahwa menyaksikan secara gratis biduanita bernyanyi dan berjoget adalah alasan yang realistis.

Memikat hati pemilih dengan berbagai cara yang ditenggang oleh aturan Komisi Pemilihan Umum dalam menggaet suara pemilih tampaknya bisa mengambil beragam bentuk.

Menyelenggarakan konser musik rock, pop atau dangdut di saat yang bersamaan dengan acara kampanye adalah cara paling populer dan digemari publik yang haus akan hiburan. Makanya, masa kampanye adalah masa panen kaum selebritas.

Kepada kalangan milenial yang berhak mencoblos pada Pilpres 2019, kontestan Pilpres tentu bisa mengerahkan daya dan dana untuk membikin kampanye yang semenarik dan sekreatif mungkin.

Sinyal-sinyal untuk memikat pemilih milenial sudah dipertontonkan oleh salah satu kandidat dalam Pilpres 2019 dengan penggunakan atribut kostum ala anak muda, perjumpaan dengan anak band Super Junior, idola kaum milenial.

Yang perlu diteliti lebih jauh oleh masing-masing kontestan pilpres agaknya faktor persentase kaum milenial yang sudah tercerahkan alias melek secara politik. Dengan mengetahui hal ini, asumsi bahwa kaum milenial hanya perlu hiburan untuk menggaet suara mereka bisa diafirmasi atau dinafikkan, untuk kemudian dijadikan landasan dalam melakukan pendekatan kepada mereka.

Sebagai politikus yang wajib terus-menerus mencerahkan dan meluaskan perspektif pemilih, kontestan pilpres dan tim sukses mereka selayaknya semakin memperkecil porsi untuk mengisi acara kampanye terbuka dengan sekadar menggelar konser musik.

Demokrasi ideal substansial tetaplah harus menjadi fokus atau sasaran mereka dalam berkampanye, yakni dengan lebih banyak adu gagasan, adu argumentasi dalam memilih program-program yang ditawarkan ke publik.

Tentu di luar forum perdebatan kandidat capres-cawapres, masih banyak kesempatan bagi masing-masing kubu untuk membangun citra mereka sebagai pemimpin yang layak dipilih. Pencitraan adalah bagian sah dan menjadi keniscayaan dalam politik sejak dulu hingga di era multimedia saat ini.

Dengan mengetahui apa keinginan publik, sebagaimana dicerminkan lewat hasil jajak pendapat, masing-masing kandidat capres-cawapres dapat membangun citra diri. Beberapa lembaga survei antara lain mengumumkan bahwa sesuai dengan hasil jajak pendapat yang mereka laksanakan, publik lebih menyukai dan memilih pemimpin yang merakyat ketimbang pemimpin yang cerdas.

Apa arti temuan ini? Setidaknya, calon pemimpin yang kalah dalam berargumentasi di forum debat capres-cawapres, mereka masih punya peluang besar untuk terpilih sebagai pemenang pilpres jika yang bersangkutan sanggup membangun diri sebagai pemimpin yang merakyat.

Itu sebabnya banyak politikus yang secara verbal melecehkan aksi pencitraan, namun secara substansial mereka yakin bahwa mencitrakan diri sebagai pemimpin yang diidealkan oleh pemilih adalah sebuah keniscayaan.

Namun, kemenangan dalam politik tentu tak bisa diandalkan dengan hanya bergantung pada citra, gambaran psikis yang kadang selaras dan kadang tak serupa sebangun dengan realitas.

Pemimpin tak cuma dituntut berpose dalam berbagai kesempatan dengan warga kalangan akar rumput atau wong cilik, tapi juga benar-benar membuktikan keberpihakannya kepada mereka lewat program-program yang prorakyat kecil, memberikan jaminan sosial bagi kelompok yang paling membutuhkan.*

Baca juga: Peneliti: Rasionalitas publik diuji dalam Pilpres 2019

Baca juga: KPU berharap tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 2019 tinggi

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018