Kota Gaza, (Antara News) - Anak perempuan Palestina Fatima Abu Shadak dari Jalur Gaza memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berenangnya sebagai bagian dari gagasan yang dipusatkan pada korban serangan Israel terhadap Jalur Gaza pada musim panas 2014.
Anak perempuan yang berusia 13 tahun tersebut mengalami trauma akibat meninggalnya ayahnya oleh pecahan rudal Israel yang mendarat di dekat rumah mereka selama agresi militer itu, yang menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina.
Bergabung dalam gagasan semacam itu yang bertujuan membentuk tim renang khusus perempuan adalah titik-balik buat Fatima.
Sejak awal tahun ini, satu tim khusus putri telah dibentuk, setelah mereka diajari dasar-dasar berenang dan ketrampilan yang diperlukan, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Fatima ikut di dalam tim putri tersebut --yang berusia antara sembilan dan 15 tahun dan memenuhi syarat untuk bertanding di dalam kompetisi renang lokal.
"Keterlibatan saya di dalam tim memungkinkan saya belajar berenang dan menjadi perenang profesional ... Ini meningkatkan keyakinan dan moral saya," kata gadis cilik itu kepada Xinhua.
Fatima menambahkan bahwa ia memiliki keinginan dan tekad untuk berusaha mewujudkan impiannya mewakili palestina di Pertandingan Olimpiade Dunia di Tokyo pada 2020.
"Saya juga ingin menjadi penjaga pantai pada masa depan," kata Fatima sambil tersenyum.
Tim putri tersebut dibentuk di bawah asuhan pelatih Amjad Tantish --yang mengelola satu pusat kebudayaan buat anak-anak yang memusatkan perhatian pada anak-anak dan pemuda yang menjadi korban serangan Israel.
"Gagasan saya ialah menggunakan berenang sebagai sarana meredakan tekanan kejiwaan yang diderita anak-anak dan pemuda, sebab berenang memiliki banyak manfaat fisik dan moral," kata Tanish kepada Xinhua.
Ia menjelaskan bahwa tim itu saat ini terdiri atas 15 anak perempuan yang telah memperlihatkan kemajuan besar dalam ketrampilan berenang mereka. Ia menyampaikan harapan bahwa tim tersebut akan memiliki kesempatan untuk ikut dalam pertandingan luar ruangan.
Anggota tim renang itu, yang semuanya berasal dari Kota Kecil Beit Lahiya di bagian utara Jalur Gaza, bertemu tiga kali sepekan selama dua jam setiap kali pertemuan.
Pelatihan biasanya dibagi untuk pemanasan dan pelatihan kebugaran, sebelum mereka melakukan bermacam gaya renang baik per orangan maupun kelompok.
Tim tersebut telah didukung oleh satu lembaga Jerman yang menutup sebagian biaya keuangan.
Tapi tim itu masih memerlukan banyak untuk mencapai prestasi yang memungkinkan anak perempuan ikut dalam pertandingan di luar negeri dan Olimpiade.
"Kami menderita kekurangan peralatan, kekuranga komlam renang ukuran Olimpiade di Jalur Gaza atau kolam air panas," kata Hassan Moussa, perenang terkenal Palestina yang melatih tim itu, kepada Xinhua.
Moussa menyampaikan harapan bahwa anak perempuan tersebut akan memperoleh dukungan yang diperlukan untuk terus mengembangkan kemampuan mereka.
"Kami perlu melanjutkan bukan hanya untuk alasan olah raga, tapi juga karena gagasan ini dipusatkan pada dukungan kejiwaan buat anak perempuan yang menderita trauma perang," katanya.
Dengan upaya besar, Rokaya Al-Baba (12) bersaing dengan rekan satu timnya dalam satu lomba selama babak pelatihan.
Seperti rekan sebayanya, Fatim, Rokaya kehilangan saudara laki-laki dan ibunya selama agresi militer Isrel 2014 ke Jalur Gaza.
"Berenang membantu saya mengeluarkan energi negatif dan memberikan kekosongan emosi yang unik ... Saya berharap saya dapat berenang setiap hari," kata anak perempuan itu dengan bersemangan.
Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018