"Jangan merasa kasihan kepada mereka, karena mereka itu bisa sendiri. Jangan sampai ada persepsi mereka tidak bisa ngapa-ngapain,"
Jakarta, (ANTARA News) - Di dalam perhelatan Asian Para Games 2018 yang digelar di Jakarta, 6-13 Oktober terdapat sekitar 8.000 relawan yang dilibatkan untuk membantu jalannya pesta olahraga atlet dengan disabilitas se-Asia itu.
Ketika menjalankan tugasnya, para relawan, yang seringnya disebut "volunteer" itu, mengaku mendapatkan pengalaman tak terlupakan ketika turun langsung berinteraksi dengan para atlet dengan disabilitas.
Pasalnya ada sekitar 2.800 atlet dan 1.800 ofisial dari 43 negara yang datang ke Jakarta untuk berusaha tampil sebagai yang terbaik di 18 cabang olahraga yang dipertandingkan.
Sejumlah relawan pun ditugaskan untuk mendampingi kontingen atlet dari tiap negara untuk menjembatani komunikasi mereka dengan pihak penyelenggara.
Tulustia Japanesa misalnya, yang bekerja sebagai NPC Relation untuk kontingen para-renang China, ketika ditemui di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis, mengaku senang bisa terlibat langsung para atlet dan ofisial.
Sebagai petugas NPC Relation, Tulustia memiliki tugas untuk memastikan atlet terpenuhi akomodasinya. Misalnya memastikan jadwal keberangkatan dan kepulangan atlet dari arena, makanan atlet hingga peralatan yang mereka pakai.
"Saya pribadi untuk bisa membantu mereka merupakan pengalaman yang membuka pikiran dan mengubah perspektif saya," kata Tulustia.
Selama mendampingi kontingen China, Tulustia melihat bahwa para atlet, dengan keterbatasan fisik yang mereka miliki, merupakan manusia pekerja keras. Para atlet dengan disabilitas pada umumnya adalah pribadi yang mandiri.
"Jangan merasa kasihan kepada mereka, karena mereka itu bisa sendiri. Jangan sampai ada persepsi mereka tidak bisa ngapa-ngapain," kata Tulustia.
Untuk berkomunikasi dengan para atlet China, Tulustia lebih sering memakai bahasa Mandarin yang pernah dia pelajari ketika tinggal di Taipei selama empat bulan.
Walaupun belum terlalu lancar menggunakan bahasa Mandarin, Tulistia terkesan dengan para atlet yang tetap berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sesederhana mungkin agar mereka satu sama lain menangkap maknanya.
"Mereka pun sangat menghargai saya. Salah satu ofisial dari China bahkan pernah bilang ke saya, 'jangan terlalu memaksa diri untuk kami. Terima kasih telah membantu kami," kata Tulustia.
Seperti Tulustia, Rangga Deri juga terlibat langsung mengurusi atlet para-renang Jepang di Asian Para Games 2018. Pria yang masih mengenyam bangku kuliah itu harus rela tidur empat jam sehari ketika dipasrahi sedikitnya 46 atlet para-renang dari Jepang.
"Ya atur transportasi, atur makanan sampai siapin es batu," kata Deri.
Tiap pagi selama tim Jepang berlatih dan bertanding, Deri menggotong sedikitnya 10 karung es batu untuk ditempatkan di kolam renang kecil portabel bagi para atlet untuk melakukan pendinginan.
"Tapi paling senang jika bisa bercanda dengan teman-teman dengan disabilitas," kata pria yang mempelajari bahasa Jepang di kampusnya itu.
Bercanda dengan atlet dengan disabilitas tidak bisa disamakan dengan bercanda dengan orang pada umumnya karena mereka memiliki kepekaan perasaan yang berbeda. Jadi susah-susah gampang.
"Misalnya ketika kita mengangkat kaki palsu mereka dengan tidak benar, mereka bisa marah karena mereka sudah menganggap kaki palsu itu bagian tubuh mereka," kata Deri.
Deri mengaku lebih banyak menemukan keasyikan di tengah kerjaannya yang sangat padat memandu para atlet.
"Saya senang melihat ketika mereka berada di panggung juara karena saya juga terlibat mempersiapkan segala hal bagi mereka," kata Deri.
Kepuasan tersendiri bagi si relawan, karena tim Jepang merupakan salah satu tim yang menggondol banyak emas di cabang para-renang.
Deri merasa takjub ketika melihat ada atlet yang tidak memiliki dua lengan berlomba di final dan mampu merebut medali emas.
"Mereka adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka memiliki kelebihan walaupun berbeda dari kita," kata dia.
Ketika para atlet naik podium, itu merupakan sesuatu yang sangat membanggakan bagi mereka.
"Tapi ketika mereka kalah, mereka juga kecewa. Bagi mereka ini adalah sesuatu yang sangat serius," kata Dian Lumban Toruan, salah satu relawan.
Dian yang mendampingi tim para-renang Singapura itu juga menemui fakta bahwa sejumlah atlet yang dia dampingi adalah sosok yang luar biasa.
Seperti misalnya Yip Pin Xiu. Atlet para-renang Singapura itu lahir dengan gangguan genetik yang secara pelan melumpuhkan otot dan kondisi syaraf yang mempengaruhi pandangan. Di usia 11 tahun dia kehilangan kemampuannya untuk berjalan dan harus menggunakan kursi roda.
Dengan kondisi yang demikian, tak main-main Xiu adalah peraih tiga medali emas Paralimpiade dan pada September lalu diangkat menjadi Anggota Nominasi Parlemen Singapura. Anggota Nominasi Parlemen Singapura dipilih oleh presiden dan tidak berafiliasi kepada partai apa pun dan tidak mewakili konstitusi.
Di ajang Asian Para Games 2018 Yip Pin Xiu menambah catatan perolehan medalinya dengan meraih satu medali emas di nomor 50 meter gaya punggung putri S4, satu medali perunggu di nomor 100 metre gaya bebas putri S4 , dan satu medali perunggu di nomor 50 meter gaya bebas putri S4 (1-4).
"Mereka tidak membiarkan disabilitas menghalangi mereka untuk maju," kata Dian. "Walaupun mereka memiliki disabilitas, tapi mereka juga atlet yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi."
Ajang Asian Para Games 2018 ini sebenarnya bisa menjadi ajang edukasi bagi para penonton karena di cabang para-renang sendiri terdapat klasifikasi untuk tingkat disabilitas atlet. "Jadi mungkin sebelum rangkaian lomba dimulai bisa diberikan gambaran singkat klasifikasi itu kepada penonton," ujar Dian.
Tribun penonton di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno bisa dibilang penuh dengan penonton setiap harinya ketika partai final digelar di sore hari.
Tidak sedikit juga para penonton dengan disabilitas datang untuk memberi semangat kepada para atlet. Sejumlah relawan pun, seperti Anggi Purnama Putri, ditugaskan untuk mengarahkan para penonton menuju bangku yang kosong dan membantu penonton dengan disabilitas di tempat yang telah disiapkan.
"Penonton dengan kursi roda ditempatkan di barisan depan," kata Anggi. "Saya enggak menyangka bakalan serame ini."
Bahkan, tak jarang penonton tetap memberi semangat atlet yang tertinggal jauh di belakang dan bertepuk tangan ketika ia mencapai garis finis.
Anggi yang turut menyaksikan lomba dari tribun pun mengaku terkesan dengan perjuangan para atlet para-renang ketika berlomba. "Walaupun dia ada keterbatasan, tapi dia lebih hebat dari saya," kata Anggi.
Para relawan bisa dibilang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di balik kesuksesan ajang Asian Para Games 2018 yang akan berakhir pada 13 Oktober nanti.
Walaupun masih jauh dari sempurna, panitia penyelenggara Asian Para Games 2018 berusaha memberikan pelayanan dan fasilitas pendukung bagi warga dengan disabilitas di sekitar arena pertandingan seperti trotoar dan kendaraan ramah disabilitas.
Ada harapan dari para relawan jika nantinya teman-teman dengan disabilitas itu juga diberi fasilitas, akses, dan kesempatan yang sama di luar arena Asian Para Games ke depannya.
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2018