Jakarta (ANTARA News) - Indonesianis dari Studi Asia Universitas Sydney Australia, Max Lane menyayangkan lemahnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia meski sudah berusia 62 tahun dengan semakin dikuasainya seluruh aset Indonesia oleh asing. "Indonesia belum hilang, tetapi hanya `digelapkan` pihak tertentu," kata Max Lane dalam bedah buku "Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca Soeharto" yang ditulis oleh Riwanto Tirtosudarmo peneliti senior dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI di Jakarta, Jumat. Menurut dia, pihak-pihak tertentu di Indonesia telah begitu lama menggelapkan Indonesia dengan menjual berbagai aset Indonesia kepada asing untuk kepentingannya sendiri, sehingga rakyat Indonesia, apa lagi lapisan terbawah hampir tak punya apa-apa lagi. Bahkan ketika orang-orang Indonesia ramai-ramai berbicara tentang nasionalisme, bangsa Indonesia harus waspada, jangan-jangan dengan cara ini Indonesia hanya akan dijual kepada asing dengan harga yang lebih mahal, ujarnya. Menurut dia, Indonesia yang selalu terjajah sejak zaman kolonialisme Belanda hingga kini hanya bisa melepaskan diri dari jeratan asing justru dengan kekuatan rakyat miskin. Ia juga merasa heran, Indonesia sebagai negara besar merupakan satu-satunya negara di dunia yang tidak mengajarkan sastranya sendiri, sehingga orang Indonesia banyak yang tidak tahu budayanya dan hasil karya bangsanya sendiri di masa lalu. "Yang tidak tahu sastra bangsanya sendiri tidak akan bisa melawan jeratan Barat hingga asetnya habis dikuras sekosong-kosongnya," katanya dengan bahasa Indonesia yang lancar. Sementara itu, Cendekiawan Muslim Abdurahman mengakui, meski sudah berumur, Indonesia masih bermasalah dengan nasionalisme, khususnya terkait kebangkitan etnisitas sekaligus mulai maraknya globalisasi. "Di Indonesia sekarang bukan saja persoalan primordialisme yang jadi masalah, kota-kota Indonesia sekarang ini tumbuh pesat mal-mal menjual merk, orang merasa tidak mengglobal kalau misalnya tak minum kopi Starbucks, padahal kopinya sama saja," katanya diikuti tawa hadirin. Namun demikian, ujarnya, masalah nasionalisme bukan hanya persoalan Indonesia tetapi persoalan seluruh bangsa di dunia, termasuk di Amerika Serikat di mana makin banyak kota-kota di AS yang hanya diidentikkan dengan etnis tertentu. Dalam kesempatan itu Muslim juga prihatin, bukan saja atas semakin sektariannya masyarakat tetapi juga semakin sektariannya LSM di Indonesia. "Sekarang ini sulit mencari pemberi dana (funding) dari Barat yang berbicara mengenai kemiskinan. Tetapi begitu mudahnya mendapat `funding` di soal-soal perlunya multikulturalisme (kebhinnekaan) di Indonesia," katanya. Padahal, lanjut dia, bicara multikulturalisme di ibukota Jakarta bukanlah sesuatu yang riil. "Jadi ada perbedaan pemaknaan tentang kulturalisme dengan di daerah. Kalau di Lampung multikulturalisme itu riil, karena orang Jawa dan pendatang semakin banyak," katanya menyindir globalisasi yang bermakna penyeragaman budaya ala Barat.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007