Jakarta (ANTARA News) - Lee Kuan Yew, mantan PM Singapura ketika berbicara pada "Indonesia Forum Foundation" di Jakarta 26 Juli 2007 minta Indonesia mencontoh China dan India. Kedua negara itu berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8-10 persen setahun secara berkesinambungan. Pendapat Lee tadi rupanya digarisbawahi oleh sementara ekonom Indonesia. Dalam seminar yang digelar oleh Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 24 Agustus 2007, konsultan pengembangan bisnis Ir. Mathiyas Thaib (54) mengatakan bahwa cetak biru ekonomi nasional Indonesia saat ini sudah tidak tepat, usang, dan sejak awal sudah salah rancang karena menganggap uang dan utang sebagai faktor pokok dan kemudian dipercaya bahwa pengelolaan uang dan utang akan menciptakan kesejahteraan rakyat. Sedangkan kesejahteraan dapat dicapai oleh negara berbasis arsitektur ekonomi nasional yang mengutamakan produktivitas untuk menciptakan ekonomi berbiaya rendah. Mathiyas Thaib lalu menambahkan bahwa peranan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan bagi bangsanya sangat menonjol pada negara China dan India. Saya bukan ahli ekonomi, tetapi bila mendengar orang menganjurkan agar Indonesia meniru China dan India saya menjadi risau dan bertanya apakah benar begitu nian kemajuan ekonomi China? Apakah benar angka 10 persen pertumbuhan ekonominya tiap tahun? Lester Thurow, guru besar ekonomi dan manajemen Institut Teknologi Massachusetts (MIT) AS belum lama berselang menyiarkan analisis, sebagaimana dikutip "Tribune Media Services International" edisi 25 Agustus 2007, mengenai klaim resmi China, yakni pertumbuhan 10 persen tadi. Dia memperkirakan bahwa laju pertumbuhan riil China adalah antara 4,5 - 6 persen, dan kedua angka itu tidak akan memberikan suatu ekonomi adidaya (superpower economy) dalam abad sekarang ini. Saya tidak akan mencampuri perbedaan pendapat ini, manakah yang betul di antara 10 persen dengan 4,5 - 6 persen? Tetapi sebagai orang awam saya menggunakan pertimbangan berdasarkan informasi dari media cetak dan elektronik. Maka di tayangan televisi saya lihat betapa hebatnya kemajuan di Beijing dan Shanghai dibandingkan dengan kunjungan saya ke sana 22 tahun lalu. Waktu itu saya sempat melihat daerah pedalaman yang dalam banyak hal masih tertinggal. Kini saya lihat kontras tajam. Beijing memperlihatkan mal serba megah, menjual barang-barang canggih dan mewah, dikerumuni pembeli dari kelas menengah baru yang mempunyai penghasilan yang tidak pernah dimimpikan pada zaman Mao Tse Tung, orang kaya baru yang datang dalam mobil pribadi. Adegan beralih memperlihatkan Beijing tengah berbenah diri membangun stadion dan berbagai fasilitas pertandingan olimpiade mendatang dengan menggusur pemukiman rakyat miskin karena tempat itu dibutuhkan buat mendirikan gedung-gedung modern bertingkat. Adegan berpindah lagi memperlihatkan kaum pekerja yang datang dari pedalaman mencari pekerjaan di kota-kota, diiringi suara narator yang bercerita bahwa China telah berhasil mengangkat 300 juta warganya keluar dari jebakan kemiskinan. Namun pada waktu bersamaan ada 125 juta orang yang sudah satu tahun tidak kembali menengok keluarganya di kampung asalnya, berpisah dengan anaknya. Jelas tampak suatu kesenjangan sosial yang sangat besar. China mempunyai penduduk 1,5 milyar jiwa. Katakanlah 20 persen sudah menjadi "middle class", golongan yang berpenghasilan tinggi dan berkehidupan layak, berarti 300 juta jiwa. Lalu bagaimana dengan sisanya yang merupakan mayoritas yaitu 1.200 juta jiwa? Bilakah pula mereka menikmati kekayaan yang dipupuk oleh adidaya ekonomi China? Francois Hauter, wartawan suratkabar "Le Figaro" di Paris baru-baru ini menulis tentang dua China yang ko-eksis, hidup bersama yakni China yang modern yang diperagakan kepada orang-orang asing dan China yang disembunyikan di mana "tidak suatu pun yang telah berubah dalam masa seperempat abad". Tayangan TV berganti dan membawa kepada pemandangan di kota Mumbai (dulu Bombay) dan di Bengalore yang dijuluki sebagai "silicon valley"-nya India. Kita semua sudah tahu bahwa India juga mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen untuk masa yang lama. Saya lihat industrialis India yang banyak telah membeli perusahaan besar di luar negeri memaparkan dengan bangga usaha dan karyanya. Saya lihat generasi muda yang bekerja di bidang teknologi informasi menguraikan lingkungan pekerjaannya di Bengalore City, bagaimana orang-orang muda yang punya banyak duit itu sudah biasa mencicipi minuman anggur (tanda kemakmuran kelas menengah). Saya bertanya pada diri sendiri, 20 persen dari penduduk India yang 1.000 juta (satu milyar) jiwa itu sudah masuk kelas menengah, tetapi bagaimana nasib 800 juta rakyat yang miskin itu. Adakah yang mengurus kehidupan mereka, kelas menengahkah, pasar bebaskah, pemerintah? Maka saya terpikir, jika Indonesia meniru China dan India, andaikanlah berhasil, maka dari penduduk sejumlah 220 juta jiwa, 20 persen bisa pindah masuk ke kelas menengah, berarti 44 juta, lalu bagaimana nasib kurang lebih 156 juta jiwa? Ini suatu kesenjangan yang besar. Dapatkah ini kita terima sebagai bangsa yang telah mendirikan Republik ini dengan konstitusinya yang ingin mewujudkan kemakmuran, keadilan bagi rakyatnya? Ataukah kita sudah puas membaca dalam sebuah penerbitan tentang daftar orang-orang kaya di Indonesia, perusahaan-perusahaan besar yang belum bisa diandalkan apakah mereka itu punya hati nurani sosial? Yang suka pamer kekayaan mereka di tengah kemiskinan rakyat Indonesia? Contoh China dan India, begitukah?(*)
Oleh Oleh Rosihan Anwar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007