Teguhkan kembali kemampuan melakukan komunikasi intrapersonal, kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak atau berujar. Think before you click!
Jakarta (Antara/JACX) - Histeria media sosial sedang melanda Indonesia. Di jagad politik tanah air belakangan, kata media sosial, netizen atau millenial menjadi kata wajib yang terus berseliweran dalam perbincangan tentang kandidasi, elektabilitas calon, strategi kampanye dan opini publik tentang pemilu. Pada bidang bisnis, perdagangan, pemerintahan, pendidikan, komunikasi massa dan lain-lain, media sosial juga menjadi primadona. Statistik juga mendukung histeria itu.
Data AsosiasiPenyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) awal tahun 2018 menunjukkan dengan jumlah populasi 262 juta orang, Indonesia memiliki jumlah pengguna internet lebih dari 50 persen, yakni 143 juta orang.
Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 106 juta orang, pengguna media sosial melalui perangkat smartphone mencapai 92 juta orang atau 39 persen dari total populasi. Pertanyaannya adalah, apakah pengguna media sosial di Indonesia telah mengetahui apa itu media sosial dan bagaimana menggunakannya secara bijaksana? Bagaimana memaksimalkan manfaat media sosial dan menghindari mudaratnya?
1.Sarana Berdiskusi Atau Pemujaan Diri?
Media sosial sesungguhnya sarana untuk berbagi dan berdiskusi atau sarana untuk sekedar meraih puja-puji untuk diri sendiri? Tanpa banyak disadari, orang aktif di media sosial terus-menerus membuat status atau unggahan foto diri untuk mendapatkan pujian, apresiasi dan perhatian dari orang lain. Tanpa banyak disadari, orang menggunakan media sosial dengan orientasi pada diri sendiri, bukan pada orang lain.
Orang mudah tersinggung jika mendapatkan kritik dari orang lain melalui media sosial, karena tanpa banyak disadari satu-satunya respon yang diharapkan dari orang lain di media sosial adalah puja-puji, jempol atau like. Padahal esensi dari diskusi adalah keterbukaan menerima perbedaan pendapat dan kritik. Demikian juga dengan esensi komunikasi adalah interaktivitas dan resiproksitas. Maka perlu senantiasa menjadi renungan, upaya pemujaan diri (self-esteem) atau dialog dengan yang lain dimensi yang menonjol ketika kita sedang aktif bermediasosial?
2.Spontan, Instan, Reaktif
Sudah menjadi watak dasar media sosial untuk mendorong penggunanya agar menjadi yang pertama berujar, merespon dan mengunggah gambar. Kita dikondisikan untuk senantiasa terlambat memikirkan dampak ujaran atau unggahan itu. Oleh karena itu, pola komunikasi melalui media sosial cenderung bersifat spontan, instan dan reaktif. Maka setiap orang yang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi mesti memiliki kehati-hatian dalam memilih topik pembicaraan, memperhatikan konteks, mengidentifikasi kemungkinan lawan bicara.
Mereka juga mesti senantiasa siap dengan reaksi yang tak terduga, jangan bersikap spontan, instan kepada orang lain melalui media sosial! Periksalah ujaran dan unggapan sebelum benar - benar disampaikan melalui media sosial
3.Kembali Menjadi Manusia: Berpikirlah Sebelum Berujar
Salah-satu ciri manusia yang tidak dimiliki ciptaan Tuhan yang lain adalah kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak, bernalar sebelum berujar. Dalam komunikasi disebut sebagai intrapersonal communication, yakni berkomunikasi dengan diri sendiri sebelum berkomunikasi dengan orang lain. Tujuannya adalah mengukur dampak, menimbang respon orang lain dan memikirkan kepantasan dan etika publik. Kemampuan berkomunikasi intrapersonal inilah yang pudar pada era media sosial. Pengguna media sosial cenderung berujar spontan, instan dan tak peduli pada orang lain atau pada standar etika publik.
Diperkuat dengan peluang untuk menyembunyikan jati diri di media sosial (anonimitas), orang cenderungmen jadi tegaan, apriori dan kehilangan empati pada orang lain. Oleh karena itu, satu hal yang perlu ditegaskan kembali dalam berkomunikasi di media sosial adalah, "teguhkan kembali kemampuan melakukan komunikasi intrapersonal, kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak atau
berujar. Think before you click!"
4.Hibridasi Ruang Privat dan Ruang Publik
Media sosial merupakan percampuran antara ruang publik dan ruang privat. Dalam konteks komunikasi, media sosial merupakan hibridasi antara komunikasi antar orang, komunikasi politik, komunikasi publik dan komunikasi massa sekaligus. Apa yang kita nyatakan atau ungkapkan di media sosial, dapat menyebar secara luas tanpa kita sadari.
Diperlukan kehati-hatian untuk berkata kata di media sosial. Penting untuk selalu menyadari media sosial sebagai ruang publik, sehingga etika berbicara di ruang publik pula yang semestinya selalu menjadi pertimbangan.
5.Tidak Ada Yang Benar-Benar Gratis
Siapapun yang aktif di media sosial atau ranah digital, mesti menyadari konsep surveillance capitalism. Merujuk pada keberadaan perusahaan digital raksasa seperti Google, Facebook, Amazon, Alibaba, Microsoft, Apple, surveillance capitalism berbicara tentang perusahaan-perusahaan digital yang menginginkan barter dengan penggunanya. Yakni barter antara pelayanan digital yang gratis (free services) dengan data yang gratis (free data).
Kita dapat menggunakan media sosial atau mesin-pencari (search engine) secara gratis, tetapi disaat yang sama seluruh aktivitas digital kita direkam dan dicatat oleh penyedia layanan gratis itu, katakanlah google dan facebook. Jadi tidak ada yang benar-benar gratis dalam dunia digital. Lanskap digital membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan efisien sejauh kita online, tetapi disaat yang sama kita tidak memiliki privasi lagi. Hidup kita serba diawasi. Oleh karena itu, kita mesti tahu batas dalam menggunakan media sosial dan internet.
6.Semua Orang Melakukannya, Maka Kreatiflah
Kesalahan persepsi yang jamak terjadi pada orang-orang yang ingin menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye atau promosi adalah menganggap diri sebagai satu-satunya yang menerapkan strategi berkomunikasi di media sosial. Mereka begitu percaya diri dengan kemampuannya bermedia sosial. Padahal, hampir semua anggota DPR, calon Anggota DPR, semua praktisi PR, semua pelaku star-up digital menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi.
Dengan kata lain, menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi jelas bukan sesuatu yang istimewa. Semua pihak melakukannya. Maka yang perlu dilakukan adalah, “Jangan Berpikir Tentang Keadaan Vakum”. Bahwa anda sendiri yang menggunakan media sosial. Bahwa hanya anda sendiri yang memiliki strategi komunikasi media sosial yang baik.
Sebaliknya, perlu ditanamkan keyakinan bahwa “semua orang memiliki strategi media sosial yang baik”. Maka dengan demikian diharapkan Anda akan terdorong untuk sekreatif mungkin atau seinovatif mungkin dalam menyusun dan melaksanakan strategi komunikasi melalui media sosial. Apa yang khas, baru dan menonjol dalam komunikasi media sosial Anda.
7.Jangan Mudah Percaya
Informasi, wacana dan data yang didapatkan melalui media sosial hendaknya tidak langsung dipercaya atau dijadikan rujukan untuk membuat kesimpulan atau keputusan. Pada ranah media sosial, informasi, data, gosip, spekulasi bercampur-baur sedemikiran rupa. Yang benar dan yang salah, yang jujur dan yang bohong saling berkelindan.
Maka yang diperlukan bukan sikap antipasti terhadap media sosial atau menutup diri terhadap media sosial. Yang dibutuhkan adalah sikap selidik, curiga dan kemampuan untuk melakukan verifikasi atau tabayun. Jangan mudah percaya kepada apa yang anda dapatkan di media sosial!
8.Bandingkan Dengan Sumber Informasi Lain
Menggunakan media sosial sebagai rujukan atau sumber informasi bukan sesuatu yang salah. Media sosial dapat memberikan banyak hal kepada kita. Namun yang perlu dilakukan adalah membandingkan informasi di media sosial dengan informasi di media jurnalistik online (portal berita) dan media jurnalistik yang lain. Kita tidak perlu terburu-buru mempercayai kebenaran informasi media sosial. Kita mesti memastikan kebenarannya.
Caranya adalah dengan membandingkan dengan informasi tentang hal yang sama di media jurnalistik. Hal ini perlu dilakukan untuk memverifikasi kebenaran informasi di media sosial itu.
9.Jangan Sebarkan Sesuatu Yang Belum Tentu Benar
Jika anda mendapatkan informasi yang kontroversial, menghebohkan dan tidak masuk akal di media sosial, jangan langsung sebarkan.
Jangan mudah terpancing untuk menyebarkan informasi heboh kontroversial atau provokatif di media sosial. Sempatkan diri untuk memeriksa dan memastikan kebenaran informasi itu dengan langkah di atas.
Hal yang mesti kita ingat sekali lagi adalah, media sosial merupakan percampuran antara ruang publik dan ruang privat, atau hibridasi komunikasi antar orang,komunikasi kelompok,komunikasi publik bahkan komunikasi massa. Maka pertimbangan etis yang mesti digunakan adalah pertimbangan etika publik atau etika komunikasi massa.
Jika kita menyebarkan pesan-pesan yang tidak bertanggung-jawab, maka kemungkinan yang dirugikan bukan hanya satu-dua orang, tetapi banyak orang. Maka jangan sebarkan sesuatu yang belum tentu benar.
*Agus Sudibyo,Direktur Indonesia New Media Watch
Pewarta: *Agus Sudibyo
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018