Palu (ANTARA News) - Pengungsi anak-anak asal Desa Lolu, Kecamatan Sigibiromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mulai rentan terkena alergi dan penyakit lain seperti diare pascabencana gempa bumi menimpa wilayahnya, Jumat (28/9).
"Banyak anak-anak tadi mulai kena gejala alergi, seperti flu, dan mata merah, kemungkinan karena debu," kata dr Rosita Rivai saat ditemui di sela Aksi Layanan Kesehatan (ALS) dari Dompet Dhuafa di Posko Pengungsi Lapangan Bumi Jaya, Desa Mpanau, Kecamatan Sigibiromaru, Kabupaten Sigi, Minggu.
Rosita yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa, mengatakan, penanganannya, anak-anak tersebut diberi multivitamin dan obat anti alergi.
Di samping alergi dan flu, pengungsi anak-anak dan dewasa juga rentan terkena diare.
"Karena di Sigi itu endemi malaria, maka (penyakit) itu yang harus diwaspadai. Diare juga, karena kebersihan makanan dan sanitasi yang kurang, ada juga penyakit kulit dan ISPA, tetapi mungkin diawali dengan alergi, tetapi tidak terlalu signifikan, mereka mungkin banyak batuk-batuk," kata Rosita.
Untuk penyintas gempa bumi dan gelombang tsunami di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, penyakit yang banyak diderita seperti cedera dan patah tulang.
"Sekarang 80 persen penyintas itu pasien ortopedi, patah tulang jadi salah satu masalah sehingga klinik yang akan kami bangun juga akan menyediakan layanan pasca luka. Layanan itu penting karena perawatan luka lebih lanjut harus dilakukan secara tepat dan steril agar tidak berujung infeksi," kata Rosita.
Dokter yang sempat bertugas merawat korban gempa di Lombok itu menambahkan, perawat tidak dapat mengontrol pasien jika mereka sudah pulang ke rumah. Apalagi kalau pengungsi tinggal di tenda, kemungkinan terkena infeksi jadi lebih besar.
"Situasinya tidak steril, ada nyamuk dan lalat sehingga rentan terkena infeksi," katanya.
Lembaga nirlaba Dompet Dhuafa menyediakan layanan kesehatan terpusat dan keliling pascabencana terjadi Jumat (28/9).
Untuk intervensi merespon bencana, Dompet Dhuafa biasa memberi layanan komprehensif yang terdiri dari unit pendidikan, kesehatan dan pembangunan rumah sementara.
"Setidaknya untuk layanan kesehatan, kami selalu menyiagakan satu dokter dan satu perawat, jika nanti layanannya ditingkatkan menjadi klinik semi permanen, kemungkinan jumlah dokter ditambah," kata Rosita.
Dompet Dhuafa berencana membangun klinik dengan layanan yang lebih lengkap, seperti rawat inap bagi para pengungsi.
Rawat inap penting karena agak susah aksesnya mereka (pengungsi) untuk bolak-balik ke klinik.
"Kemarin, kita sempat menerima pasien, seorang ibu yang habis melahirkan di Sigi, ia pendarahan terus, setelah diperiksa, ternyata ada plasentanya tertinggal, dan HB (hemoglobin)-nya sangat kurang sekali. Pasien itu sudah diinfus dan diobservasi oleh bidan," kata Rosita.
Setidaknya ada sekitar 70 ribu pengungsi yang terpaksa tinggal sementara di tenda-tenda pascagempa bumi dan gelombang Tsunami menghantam Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong, Jumat (28/9).
Hingga hari ini ada 1.944 korban meninggal, 2.549 luka-luka dan 683 korban hilang. Evakuasi hingga hari kesembilan bencana masih dilakukan, khususnya di wilayah paling terdampak, yakni di Petobo dan Perumahan Balaroa serta wilayah lain di Kabupaten Sigi dan Donggala.
Baca juga: 11 rumah sakit di Palu-Donggala-Sigi sudah beroperasi kembali
Baca juga: Kementerian Kesehatan disinfeksi area rumah sakit di Palu
Baca juga: RS di Sulawesi Tengah mulai beroperasi
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018