Jakarta (ANTARA News) - Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta beserta sejumlah dokter yang bekerja di RS itu didenda Rp2 miliar karena malpraktik terhadap penderita tumor ovarium, Sita Dewati Darmoko. "Tergugat secara tanggung renteng harus membayar ganti rugi materiil dan imateriil sebesar Rp2 miliar," kata ketua majelis hakim, Sulthoni, ketika membacakan putusan perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis. Ahli waris pasien Sita Dewati Darmoko menggugat RSPI dan para dokter karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang sehingga harus membayar ganti rugi, seperti diatur dalam pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Para tergugat adalah pengelola RSPI PT Binara Guna Mediktama (tergugat I), DR. Hermansyur Kartowisastro (tergugat II), Prof. DR. Ichramsyah A. Rachman (tergugat III), Prof. DR. I Made Nazar (tergugat IV). Kemudian DR. Emil Taufik (tergugat V), DR. Mizra Zoebir (tergugat VI), DR Bing Widjaja (tergugat VII), dan Komite Medik RSPI (turut tergugat). Gugatan dilayangkan karena penggugat merasa dirugikan sebab tidak mengetahui hasil rekam medis bahwa tumor yang diderita pasien adalah tumor ganas, sehingga mengakibatkan kematian pasien. Menurut majelis hakim, penundaan penyampaian hasil rekam medis adalah suatu kelalaian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. "Itu adalah perbuatan melawan hukum," kata hakim Sulthoni. Seharusnya, menurut majelis, dokter harus memberikan informasi kepada pasien dan keluarga, baik diminta maupun tidak. Denda Rp2 miliar yang harus dibayar secara tanggung renteng oleh semua tergugat itu lebih rendah dari gugatan awal, yaitu Rp20 miliar. Selain mengurangi jumlah beban denda, majelis juga menolak gugatan uang paksa senilai Rp10 juta per hari, sita aset RSPI, dan jaminan eksekusi jika ada upaya banding dari tergugat. Sebelumnya, Sita Dewati Darmoko dioperasi di RSPI pada 12 Februari 2005 karena menderita tumor ovarium. Setelah itu, dilakukan uji sampel jaringan tumor (Pathology Anatomy/PA), dan diketahui tumor yang diidap Sita adalah jenis tumor tidak ganas. Kemudian, tim dokter melakukan PA kedua dengan metode yang lebih rinci. Hasil PA kedua tertanggal 16 Februari 2005 menyatakan bahwa tumor tersebut adalah tumor ganas. Meski telah diketahui jenis tumor, hasil PA yang terakhir itu tidak kunjung diberikan kepada pasien. Pasien baru menerima hasil PA pada Februari 2006 atau sekitar satu tahun kemudian. Akhirnya, pasien meninggal pada Mei 2006. Menanggapi putusan majelis hakim, kuasa hukum tergugat menyatakan pikir-pikir sebelum mengajukan banding. Kuasa hukum tergugat III, Said Damanik mengatakan kliennya tidak sepatutnya ikut menanggung beban. Menurut Said, kliennya tidak mengetahui adanya PA kedua, sehingga tidak mengetahui tumor yang diderita Sita adalah tumor ganas.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007