Jakarta (ANTARA News) - Bekas Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham disebut membujuk pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo untuk memberikan fee kepada Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dari proyek PLTU RIAU-1.
"Pada 8 Juni 2018, Eni Maulani Saragih kembali meminta Idrus Marham menghubungi Johanes Budisutrisno Kotjo. Idrus pun menghubungi Kotjo melalui WA dengan kalimat 'Maaf bang, dinda butuh bantuan untuk kemenangan Bang, sangat berharga bantuan Bang Koco..Tks'," kata Jaksa Penutut Umum (JPU) KPK Ronald Worotikan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Hal itu terungkap dalam pembacaan surat dakwaan Johanes Budisutrisno Kotjo yang didakwa memberikan uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 dan Idrus Marham.
Eni Maulani adalah orang yang pada 2015 diperkenalkan oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto kepada Kotjo sebagai orang yang akan membantu
Kotjo dalam mengawal proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau.
Namun setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP Elektronik, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 kepada Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu.
Eni lalu menyampaikan kepada Idrus akan mendapat fee untuk mengawal proyek PLTU MT RIAU-1. Fee tersebut adalah sebesar 3,5 persen untuk pihak-pihak lain dari total fee 25 juta dolar AS.
Pada 25 September 2017, Eni dengan sepengetahuan Idrus pun mengirim "whatsapp" (WA) yang meminta uang sejumlah 400 ribu dolar Singapura dari Kotjo.
Eni pun pada 15 Desember 2017 mengajak Idrus menemui Kotjo. Dalam pertemuan itu Kotjo menyampaikan fee akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU RIAU 1 berhasil terlaksana.
"Eni Maulani Saragih selaku bendahara munaslub Golkar meminta sejumlah uang kepada terdakwa dengan alasan untuk digunakan dalam Munaslub Golkar dan guna meyakinkan terdakwa, Idrus Marham juga menyampaikan kepada terdakwa 'tolong dibantu ya', selanjutnya permintaan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham itu disanggupi terdakwa," tambah jaksa Ronald.
Uang sebesar Rp4 miliar lalu diberikan kepada Eni Maulani secara bertahap melalui staf sekaligus keponakan Eni bernama Tahta Maharaya di kantor Kotjo yaitu pada 18 Desember 2017 sejumlah Rp2 miliar dan pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar.
Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta sejumlah Rp10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung.
Suami Eni adalah Muhammad Al Khadziq yang akhirnya terpilih sebagai Bupati Temanggung 2018-2023 bersama dengan Heru Ibnu Wibowo.
"Eni menyatakan uang itu diperhitungkan dengan fee yang akan diberikan setelah proyek PLTU MT RIAU-1 berhasil, namun terdakwa menolak dengan mengatakan 'saat ini cashflow lg seret'," ungkap jaksa Ronald.
Pada 5 Juni 2018 Eni lalu mengajak Idrus menemui Kotjo di kantornya dimana Idrus meminta Kotjo memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan "tolong adik saya ini dibantu...buat pilkada".
Uang lalu diserahkan pada 8 Juni sebesar Rp250 juta melalui Tahta Maharaya untuk Eni di kantor Kotjo di graha BIP.
Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Idrus dan pembagian fee pun setelah proses kesepaktan proyek PLTU MT RIAU-1 selesai.
Pemberian uang ke Eni selanjutnya baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerhakan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.
Atas perbuatannya, Kotjo disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Terhadap dakwaan itu, Kotjo tidak mengajukan keberatan (eksepsi).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018