Surabaya (ANTARA News) - Dunia anak adalah bermain. Karena itu tidak heran meskipun mereka berada di balik jeruji penjara, tetap saja keceriaan itu terpancar dari wajah-wajah polosnya. Kesan itu bisa ditangkap dari karya fotografer Trisnadi dalam pameran bertajuk, "Hitam Putih Penjara Anak" di Galeri Surabaya, komplek Balai Pemuda, Surabaya, 28 Agustus hingga 3 September 2007. Fotografer harian Duta Masyarakat yang terbit di Surabaya itu memamerkan 28 karyanya dalam cetakan hitam putih dengan obyek aktivitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Blitar, Jatim. Berbagai ekspresi anak-anak terekam dalam kamera Trisnadi. Foto-foto itu memperlihatkan keceriaan, keakraban sesama narapidana, maupun aktivitas yang harus mereka jalankan di penjara. Obyek itu antara lain, berupa ekspresi anak yang sedang merokok di balik terali atau tatapan polos mereka. Ada juga kegiatan anak-anak yang harus ikut upacara bendera dengan bertelanjang kaki. Meskipun demikian, Trisnadi tampaknya masih terjebak pada obyek foto yang memperlihatkan dunia hitam anak-anak penjara, seperti tato-tato di beberapa bagian tubuhnya, sementara aspek "putihnya" kurang ditonjolkan. Menurut Trisnadi, ia memberi tema pada pamerannya ini bukan sekedar hitam putih untuk pilihan cetakannya, tapi juga untuk menggambarkan anak-anak di penjara, yang tidak boleh hanya dilihat dari sisi "hitamnya" (jeleknya), tapi juga sisi "putihnya". "Di balik stempel bahwa dia sebagai anak yang pernah melakukan kejahatan, mereka sebetulnya sama dengan anak-anak lainnya yang memiliki cita-cita mulia di masa depannya," katanya. Karena itu, katanya, dia tidak setuju jika kesalahan yang dikerjakan mereka, 100 persen ditimpakan kepada anak-anak itu. Sebetulnya secara sosial, masyarakat terdekatnya juga ikut andil terhadap apa yang dilakukan anak-anak itu. "Bahkan ada penghuni Lapas anak di Blitar itu yang saat itu berusia sekitar 15 tahun berpesan kepada saya agar para orangtua menjaga anak-anaknya. Anak itu di penjara, antara lain karena mencuri rel kereta api yang tidak terpakai," katanya. Ia menjelaskan, pada pamerannya nanti akan menampilkan sejumlah momen bagaimana aktivitas anak-anak di penjara, seperti saat mereka mengikuti upacara dan mendapatkan perlakuan seperti tahanan dewasa. "Saya juga menampilkan fakta bahwa anak-anak di sana umumnya menderita penyakit kulit. Mungkin itu karena kebersihan yang kurang terjaga. Meskipun demikian ada juga anak yang tidak mau keluar karena sudah betah di penjara," ujarnya. Menurut Trisnadi, dirinya akan menjual foto-fotonya itu jika ada masyarakat yang berminat. Sebagian hasilnya akan disumbangkan ke Lapas Blitar untuk membantu anak-anak di sana. "Pameran ini sebetulnya akan dibuka oleh seorang mantan penghuni Lapas anak di Sidoarjo, tapi karena bapak angkatnya meninggal tadi malam, maka saya urungkan. Anak itu pernah dipenjara karena mencuri sandal yang sebetulnya sudah jelek untuk dibuat roda mobil-mobilan. Tidak sedikit anak-anak yang mengalami seperti itu," katanya. Fotografer senior, Arbain Rambey yang memberi pengantar pada pameran itu mengemukakan bahwa apa yang dipotret Trisnadi merupakan masalah sosial yang pelik. "Di satu sisi memasukkan anak ke dalam penjara dianggap memperbaiki sebuah potensi kerusakan di masa depan, namun di sisi lain hal itu justru menjadikan mereka manusia di luar sistem," katanya. Menurut dia, Trisnadi justru memiliki jangkauan pemikiran yang cukup jauh. Bagi Trisnadi, penjara anak adalah subyek penelitian yang maha luas, termasuk penelitian visual yang dibuatnya dalam aneka foto. "Ekspresi-ekspresi kaum belia yang ada di dalam kurungan tembok penjara seakan mencerminkan jeritan hati mereka. Namun keceriaan pun bisa tetap terlihat di dalam penjara anak," katanya. Sementara pengamat seni rupa di Surabaya, Riadi Ngasiran mengemukakan bahwa menikmati foto-foto Trisnadi seolah-olah melihat rekaman larik-larik puitik visual yang penuh pesan. Terkadang foto-foto itu memberi ruang untuk tercenung sejenak agar kita menikmatinya lebih lama. "Foto-foto itu memberikan pengayaan pandangan akan kompleksitas semesta kanak-kanak di baliik jeruji besi," kata penulis buku, "Memaknai Seni Rupa Alternatif Indonesia; Iki Lhoo...". Menurut dia, fase anak-anak merupakan masa yang paling subur untuk melakukan pembinaan keilmuan dan pemikiran. Pada masa ini daya tangkap dan daya serap otaknya berada pada kemampuan maksimal. "Tapi bagaimana bila mereka berdiam di penjara? Barangkali kita akan berkata syukur! Atau mungkin memperolok mereka berakhlak buruk sehingga harus menerima ganjaran," katanya.(*)
Oleh Oleh Masuki M Astro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007