Tapi mereka tidak menjarah, hanya membantu kami yang sudah tidak memiliki apa-apa.
Sulteng, (ANTARA News) - Warga Palu, Sulawesi Tengah, yang memilih menetap, meminta agar publik tidak menyebut mereka sebagai penjarah.
Seperti yang diungkap Darmen, warga kampung Nelayan di Sulteng, Senin, yang selamat dari gempa dan tsunami.
Ia mengaku, hingga tiga hari pascagempa belum makan nasi bahkan tidak memiliki pakaian ganti.
"Beruntung, puteri saya satu-satunya selamat meski kami tidak lagi memiliki rumah dan harta benda," ujarnya.
Isterinya pun selamat sebab saat musibah terjadi berada di rumah keluarga di wilayah pantai Timur.
Darmen mengaku, hingga saat ini belum mandi dan ganti pakaian, sedangkan makanan yang dimakan adalah roti dan minuman ringan yang diambil bersama warga lainnya di salah satu supermarket.
"Kami tidak menjarah, tapi hanya berupaya bertahan hidup sebab sangat membutuhkan makanan dan air minum," ujarnya yang ikut mengantre bensin di SPBU agar secepatnya keluar dari Kota Palu.
Sementara itu, Misna warga yang bermukim di Kelurahan Tondo, mengaku tidak memiliki rumah dan harta benda.
Saat musibah terjadi, saya hanya mengenakan selembar handuk sebab akan mandi.
"Saya hanya memikirkan keselamatan ibu mertua yang berusia 70 tahun, makanya tidak sempat mengenakan pakaian agar secepatnya menyelamatkan beliau," ujarnya.
Ia mengaku, air laut saat itu begitu cepat menghantam rumah mereka dan seperti mukjizat mereka lari satu langkah lebih cepat dari sapuan air laut.
Ibu berusia 55 tahun ini mengaku hanya memiliki satu orang putera yang sedang berada di Toli-toli saat musibah itu.
Kini ia dan suaminya, menumpang di rumah orang di kawasan perumahan BTN Polda, Mamboro jalan Soekarno-Hatta.
Misna dibantu warga mendapatkan bantuan pakaian dalam dan pakaian seadanya.
Ia bahkan mengaku, baru mendapat tambahan bantuan pakaian dari warga lainnya yang mencari pakaian di kawasan pertokoan yang sudah porak poranda.
"Tapi mereka tidak menjarah, hanya membantu kami yang sudah tidak memiliki apa-apa," ujarnya.
Ia berharap, bantuan juga menyisir kawasan pemukiman sebab banyak pengungsi yang menumpang di halaman rumah warga, seperti di daerah Mamboro yang berada di ketinggian.
Mereka membangun tenda darurat seadanya sebab takut tidur didalam rumah, khawatir gempa susulan.*
Baca juga: Warga tiga desa di Donggala kesulitan makanan
Baca juga: Ribuan warga antre bbm di SPBU Ampibabo
Pewarta: Susanti Sako
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018