Setiap gempa menghadirkan rasa pilu, tetapi kesiapan menghadapi dan perjuangan menangani gempa lebih penting.
Jakarta (ANTARA News) - Kesedihan mendalam akibat gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 29 Juli 2018 yang disusul dengan serentetan gempa susulan pada 5 Agustus dan 19 Agustus 2018, belum berakhir, kini bangsa Indonesia berduka lagi dengan gempa serta tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.
Rasa pilu kembali pecah, saat merasakan kehilangan saudara-saudara kita yang wafat, yang terluka, yang terpaksa mengungsi, yang trauma akibat dilanda gempa.
Belum lagi begitu banyak bangunan yang rusak. Begitu pula berbagai sarana infrastruktur yang terputus seperti layanan transportasi, listrik, telekomunikasi, membuat kelumpuhan seisi kota semakin melengkapi kenestapaan.
Hingga Sabtu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 420 orang meninggal dunia di Kota Palu, akibat gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR) dengan pusatnya di kedalaman bumi 10 kilometer pada 27 kilometer timur laut dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) pukul 17.02 WIB.
Bencana alam yang tak terduga ini menyayat hati dalam kedukaan mendalam. Jumlah korban yang meninggal dunia akibat gempa itu tampaknya bakal terus bertambah.
Gempa juga membawa gelombang tsunami di Pantai Teluk Palu. Jarak antara Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, dengan Kabupaten Kota yang terdekat, berkisar puluhan kilometer atau kurang dari dua jam perjalanan darat.
Gempa awal sebelumnya terjadi pada sekitar pukul 14.00 berkekuatan 5,9 SR. Setelah gempa 7,4 SR itu, puluhan gempa susulan terus terjadi hingga Sabtu pagi.
Selain 420 korban meninggal dunia, kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho, ratusan korban luka-luka dan ribuan rumah serta bangunan lain rusak di Kota Palu, antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, rumah sakit, bandara, jembatan banyak mengalami kerusakan bahkan ambruk.
Menara Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie ambruk akibat gempa dan membawa salah seorang petugas pengatur lalu lintas udara (ATC) Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia Cabang Palu, Anthonius Gunawan Agung, meninggal saat menjalankan tugas terakhirnya untuk memberikan izin kepada maskapai Batik Air lepas landas.
Jembatan Kuning yang menjadi ikon di Kota Palu juga ambruk, sejumlah ruas jalan trans-Sulawesi menuju Kota Palu dan Donggala ada yang longsor dan rusak karena gempa.
Sebagian besar korban yang saat ini terdata, menurut dia, baru dari Kota Palu, belum Kabupaten Donggala. Ada korban jiwa akibat tsunami namun belum dapat diketahui jumlahnya karena laporan dari lokasi terkendala telekomunikasi yang belum normal.
Seluruh korban jiwa dan yang mengalami luka-luka yang sudah terdata oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, sudah berada di rumah sakit.
"Diduga ratusan orang belum dapat dievakuasi, ada pula hotel 80 kamar yang juga belum diketahui jumlah penghuni yang dievakuasi. Diduga ada ratusan yang belum diketahui nasibnya yang sedang melakukan gladi resik di arena festival perayaan HUT Kota Palu," ujar Sutopo.
Hingga kini pencarian dan evakuasi korban masih dilakukan selain juga upaya bersama Kementerian/Lembaga dan instansi terkait untuk menormalkan kembali aliran listrik, telekomunikasi dan akses jalan untuk memudahkan bantuan masuk ke Kota Palu dan Donggala.
Pusat gempa yang berada pada patahan sesar Palu-Koro pada kedalaman 10 kilometer itu termasuk dekat dengan permukaan bumi sehingga kerusakan dan banyaknya korban akibat gempa tak terhindarkan. Bahkan gempa di Sulawesi Tengah itu terasa hingga sejumlah wilayah di Pulau Kalimantan.
Lebih dari Hiroshima
Kerusakan memang masif dan banyak membawa korban jiwa maupun luka-luka dari gempa di Sulteng ini. Gempa ini memiliki energi sekitar 2,5x10^20 Nm yang setara dengan 3x10^6 Ton-TNT atau 200 kali bom atom Hiroshima, Jepang, kata Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu W Pandoe.
Berdasarkan simulasi model analitik-numerik, gempa Kota Palu, Kabupaten Donggala dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar antara -1,5 sampai 0,50 meter. Komponen deformasi vertikal gempa bumi di laut ini yang berpotensi menimbulkan tsunami hingga ketinggian 2,50 meter. Tsunami berpotensi lebih tinggi lagi karena efek turunnya daratan di sekitar pantai dan amplifikasi gelombang akibat batimetri serta morfologi teluk.
Daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Towaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, diperkirakan mengalami penurunan setengah hingga satu meter dan di Banawa mengalami penaikan 0,3 cm. Gempa bumi ini berpusat di darat dengan sekitar 50 persen proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut.
Masyarakat perlu waspada atas gempa bumi susulan dan potensi keruntuhan infrastruktur atau bangunan di sekitarnya, serta terus memantau dan mengikuti informasi dari otoritas resmi BMKG/BNPB/BPBD setempat.
Sementara data dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan wilayah di sekitar pusat gempa bumi pada umumnya disusun oleh batuan berumur pratersier, tersier, dan kuarter.
Batuan berumur pratersier dan tersier tersebut sebagian telah mengalami pelapukan. Batuan berumur pratersier dan tersier yang telah mengalami pelapukan dan endapan Kuarter tersebut pada umumnya bersifat urai, lepas, lunak, belum kompak (unconsolidated), bersifat memperkuat efek goncangan gempa sehingga rawan terhadap goncangan gempa.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, masuk dalam wilayah zona merah atau rawan gempa.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG Sri Hidayati mengungkapkan potensi intensitas guncangan akibat gempa bumi di wilayah tersebut dapat mencapai lebih dari VIII MMI.
Begitu dahsyatnya gempa yang terjadi memang tampak wajar membuat pilu bangsa Indonesia tetapi dengan pengalaman berbagai kejadian gempa dan penanganan yang telah sistemik, membuat bangsa ini tetap kuat dan tegar menghadapi musibah ini, untuk kembali pulih.
Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk mengoordinasikan penanganan dampak gempa itu.
Kota Palu dan Kabupaten Donggala saat ini membutuhkan bantuan alat-alat berat untuk mengevakuasi korban dari reruntuhan gedung, pasokan listrik dan jaringan telekomunikasi, selain juga tentunya bantuan makanan siap saji dan keperluan dasar lainnya.
"Semalam Tim SAR gabungan juga ada yang mendengarkan permintaan pertolongan dari reruntuhan tetapi sulit sekali melakukan evakuasi karena gelap gulita karena tak ada penerangan listrik," ujar Sutopo.
Logistik bantuan diupayakan mulai masuk Sabtu sore karena Kementerian Perhubungan memastikan bandara di Kota Palu sudah akan dapat didarati pesawat komersial.
Bantuan personel tambahan baik dari TNI, Polri, Basarnas, relawan perlu lebih banyak lagi. Dan yang sekarang bergerak menuju Kota Palu dan Donggala diperkirakan paling cepat baru akan bisa sampai Sabtu malam karena akses transportasi yang terputus.
Wiranto telah memimpin rapat koordinasi pada Jumat malam hingga Sabtu dinihari membahas tentang tanggap darurat bencana gempa bumi di Palu dan Donggala.
Bantuan pertama berupa pengerahan pasukan, tenaga manusia, personel untuk membantu evakuasi, membantu membersihkan puing-puing yang barangkali masih ada korban, seperti yang pernah dilakukan di Lombok.
Pasukan evakuasi datang dari TNI/Polri dan relawan. Pasukan dari Gontalo, Mamju, Makasar, dari jalan barat sudah menuju lokasi bencana.
Unit kesehatan dari TNI AL, TNI AU, BNPB sudah menyiapkan rumah sakit lapangan. Lalu pemulihan berbagai infrastruktur.
Kemudian sistem tranportasi yang mendesak perlu diperbaiki adalah menara bandara dan landasan karena sepanjang 500 meter rusak akibat gempa.
Kementerian Soial juga telah mengirimkan bantuan makanan, paket sembako, termasuk selimut, tenda, dan sebagainya. Bahkan santunan pun sudah disiapkan.
PLN segera memulihkan tujuh gardu induk yang padam saat bencana. Satu genset raksasa juga disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik. Pemerintah pusat hadir membantu menangani para korban gempa dan memulihkan keadaan.
Setiap gempa memang menghadirkan kesedihan dan rasa pilu, tetapi kesiapan menghadapi dan perjuangan menangani gempa lebih penting.
Apalagi kita hidup di Indonesia, yang tepat berada di atas lempeng bumi yang sangat aktif di dunia. Kita tidak tahu kapan lagi gempa dan tsunami terjadi, kita yang harus siap mengantisipasi dan menghadapi gempa.
Baca juga: Sesar Palu-Koro bergeser 35-45 milimeter per tahun
Baca juga: 152 kali gempa susulan terjadi pascagempa Donggala
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018