"Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan perlu ada perlakuan khusus terhadap kelompok rentan," kata Lilik dalam jumpa pers Konferensi Nasional Bahasa Isyarat Indonesia dalam Penanggulangan Bencana di Jakarta, Kamis.
Menurut Lilik, yang termasuk kelompok rentan selain kaum difabel adalah usia 60 tahun ke atas, usia lima tahun ke bawah dan ibu hamil.
Khusus untuk orang Tuli sebagai salah satu bagian dari kaum difabel, Lilik mengatakan anggota BNPB dan BPBD kerap kali menghadapi kesulitan ketika harus menolong mereka dalam situasi bencana.
"Secara fisik tidak ada perbedaan orang Tuli dengan orang lainnya, sehingga penolong tidak tahu bahwa dia orang Tuli. Ketika diajak bicara, ternyata sama sekali tidak menanggapi," jelasnya.
Padahal, penanggulangan bencana, termasuk upaya pencarian dan pertolongan terhadap korban, harus dilakukan secara cepat tanggap. Perlu ada kesamaan bahasa yang saling dipahami antara orang Tuli dengan penolong.
Baca juga: BNPB tekankan pentingnya sama bahasa dalam menolong orang Tuli
Karena itu, BNPB bekerja sama dengan Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), ADRA Indonesia dan The Unspoken Ministry mengadakan Konferensi Nasional Bahasa Isyarat Indonesia dalam Penanggulangan Bencana.
"Tujuan Konferensi ini adalah menyepakati bahasa seperti apa yang digunakan orang Tuli ketika menghadapi bencana," kata Lilik.
Pendiri The Unspoken Ministry Deicy Silvia mengatakan masyarakat Tuli sedang berupaya memperkenalkan Budaya Tuli kepada masyarakat dengar.
"Antara lain dengan mengajarkan bahasa isyarat kepada banyak orang dan mulai mengajak masyarakat menulis kata Tuli dengan huruf 'T' besar," katanya.
Dengan memperkenalkan Budaya Tuli, Deicy berharap masyarakat luas bisa lebih memahami masyarakat Tuli.
Baca juga: Difodeaf, aplikasi penerjemah bahasa isyarat buatan mahasiswa Universitas Brawijaya
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018