Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan masih maraknya praktik suap dalam pengurusan dokumen calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Temuan tersebut terungkap dari hasil kajian yang dilakukan oleh KPK terhadap sistem pelayanan dan perlindungan TKI. Hasil kajian itu diserahkan oleh Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Eman Soeparno serta Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa. "Dari kajian terhadap sistem pelayanan penempatan dan perlindungan TKI tersebut dihasilkan temuan maraknya praktik suap dalam pengurusan dokumen calon TKI," tutur Ruki. Ia menjelaskan, praktik suap dapat terjadi dari pengurus dokumen kepada pejabat karena adanya kontak langsung antara pengguna jasa dan petugas. "Pelayanan pengurusan dokumen calon TKI kurang profesional karena tidak digunakannya sistem antrean, tidak adanya loket pelayanan, tidak ada tanda terima berkas serta informasi dan sarana pelayanan yang kurang memadai," kata Ruki. Ruki menyatakan, hasil kajian KPK tidak bisa menemukan angka pasti dari praktik suap tersebut. "Jumlahnya tidak bisa dipastikan, tapi berkisar Rp20 ribu hingga Rp40 ribu per berkas, jadi besarnya tergantung dari berapa jumlah berkas yang diurus," ujarnya. Ia menambahkan, KPK melihat maraknya praktik suap itu sebagai suatu kelemahan dari sistem. Karena itu, KPK meminta kepada Menakertrans untuk memperbaiki sistem tersebut. "Pendekatan kami adalah perbaikan sistem, karena ini dilakukan dalam konteks reformasi birokrasi. Jangan apa-apa lantas minta direpresif," ujar Ruki. Kajian yang dilakukan oleh KPK, menurut dia, adalah sebagai pelaksanaan tugas monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara seperti yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002. "Kita menjadi negara terkorup karena pelayanan publik yang jelek. Karena itu, KPK menaruh perhatian terhadap pelayanan publik seperti pelayanan kepada TKI ini," ujar Ruki. Menanggapi hasil kajian KPK, Menakertrans mengatakan, pembenahan sistem pelayanan penempatan dan perlindungan TKI sebenarnya sudah dimulai sejak keluarnya Inpres No 6 Tahun 2006. "Tapi tentu masih banyak yang perlu diperbaiki, termasuk juga dalam kepengurusan dokumen," ujarnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007