Bogor (ANTARA News) - Salah persepsi mengenai keamanan produk rekayasa genetika membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dalam pemanfaatan bioteknologi sesuai keinginan untuk kebaikan bersama.
Ketua Pusat Studi Sumberdaya dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Sony Suharsono di sela-sela lokakarya mengenai keamanan produk rekayasa genetik di Kampus IPB, Bogor, Selasa mengatakan, Indonesia baru pada tahap pengujian beberapa produk rekayasa genetik seperti padi, tomat dan cassava, dan belum melepasnya ke masyarakat.
Sementara beberapa negara tetangga seperti Filipina telah maju dalam produksi jagung rekayasa genetik, demikian juga Vietnam mulai mengembangkan produk-produk sejenis.
"Padahal mau tidak mau, disadari atau tidak, produk rekayasa genetika sudah sampai di meja makan kita. Tahu, tempe, kecap, tepung jagung yang kita konsumsi tidak tertutup kemungkinan merupakan produk rekayasa genetika," katanya.
Ia mengemukakan, pakan yang diberikan kepada ternak dan hasilnya dikonsumsi manusia besar kemungkinan juga mengandung produk rekayasa genetika.
"Tidak ada yang bisa menjamin harga bahan pangan pokok akan stabil bila produk rekayasa genetika tersebut distop masuk ke tanah air," katanya.
Lokakarya yang diselenggarakan pada 28-30 Agustus ini bertujuan untuk saling tukar informasi secara ilmiah tentang keamanan hayati termasuk keamanan pangan produk rekayasa genetika, dan dihadiri oleh 25 peserta dari IPB, UI, Pulit Biotek LIPI, Biotrop, Dinas-dinas Pertanian dari sentra produksi jagung dan kedelai, Departemen Kesehatan serta beberapa LSM.
Meski demikian, Sony Suharsono mengakui, tidak semua hasil rekayasa genetika aman bagi lingkungan dan konsumen.
Namun produk-produk yang sudah dilempar ke pasar bisa dinyatakan aman, baik bagi lingkungan maupun yang mengonsumsi, karena sudah melalui berbagai pengujian termasuk uji laboratorium, uji fasilitas terbatas, dan uji lapangan terbatas, tegasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Prof Dedi Fardiaz mengatakan, BPOM belum bisa melakukan pengawasan pelabelan produk makanan olahan yang mengandung produk rekayasa genetik karena masih menunggu keputusan Komisi Keamanan Hayati.
"Sampai saat ini pemerintah belum mengumumkan bahwa produk rekayasa genetik itu aman. Tapi ini hanya masalah birokrasi saja," katanya.
Di beberapa negara, kata dia, produk makanan olahan yang mengandung bahan transgenik lebih dari lima persen, harus diberi label.
Ia mengaku, untuk produk rekayasa genetik yang masuk ke Indonesia dalam bentuk segar seperti kedelai dan jagung yang umumnya diimpor dari Amerika Serikat dan Argentina, belum bisa diawasi.
Namun demikian, dari segi keamanan, WHO sudah menyatakan bahwa semua produk rekayasa genetik yang sudah dikomersialkan lama dan dikaji secara teliti dan ketat oleh produsen, aman dikonsumsi, misalnya kedelai, Bt corn, kentang dan canola.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007