Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengadopsi pendekatan diplomasi pertahanan empat poros, yaitu dengan menjaga kesimbangan hubungan dengan Amerika Serikat, Rusia, China, dan ASEAN.
"Hubungan ini sangat strategis mengingat semakin tingginya kesamaan cara pandang di dalam upaya untuk mewujudkan kepentingan nasional masing-masing negara di tengah kompleksitas dinamika lingkungan strategis kawasan yang semakin berkembang," kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam sambutannya di acara Pembekalan Atase Pertahanan, Atase Darat, Atase Laut dan Atase Udara, di Kemhan, Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut Ryamizard, pendekatan diplomasi pertahanan empat poros harus dilakukan mengingat Indonesia sebagai negara yang bebas aktif dan sebagai negara yang netral. Terlebih, dalam pembukaan UUD 1945, Indonesia harus ikut terlibat dalam upaya ketertiban dunia.
"Maka dengan demikian, mau China, Rusia, Amerika, dan ASEAN, kita usahakan tidak terjadi konflik. Meski Indonesia berada di kawasan ASEAN, dengan tiga negara lainnya kita bersahabat," tuturnya.
Indonesia memandang perlunya negara-negara dari seluruh kawasan di belahan dunia mana pun untuk bersama-sama membesarkan persamaan yang ada dan juga bersama-sama mengecilkan perbedaan yang selama ini dapat mengganggu hubungan persaudaraan sesama umat manusia.
"Sehingga hal ini akan lebih memperkuat persatuan dan kerja sama antarnegara dan antarkawasan demi mewujudkan cita-cita mulia bersama untuk membangun dunia yang lebih aman, damai, dan sejahtera," kata Ryamizard.
Di hadapan 54 atase pertahanan, laut, darat, dan udara, Menhan menyebutkan kecenderungan perkembangan lingkungan strategis saat ini yang semakin sulit diprediksi menempatkan perkembangan masa depan dunia menjadi penuh dengan ketidakpastian.
"Jarak antarnegara sekarang bukan merupakan penghalang lagi, sementara sifat ketergantungan antarnegara dan bangsa semakin besar. Hal inilah yang menjadi dasar alamiah terbentuknya keinginan masyarakat di kawasan untuk membangun persatuan dan kerja sama," kata purnawirawan jenderal bintang empat ini.
Kondisi itu juga, lanjut Menhan, menjadi faktor pemicu munculnya fenomena ancaman baru yang sering ia sampaikan dalam berbagai forum dengan sebutan "ancaman nyata".
Ancaman ini bersifat lebih dinamis dan multidimensional, baik berbentuk fisik maupun nonfisik yang dapat muncul dari dalam atau dari luar suatu negara seperti terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam dan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya dlam (SDA) dan mineral serta penyelundupan bersenjata, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan rarkoba dan perang siber dan intelijen.
Selain ancaman fisik, Indonesia juga menghadapi ancaman nonfisik yang relatif lebih besar khususnya ancaman yang pada gilirannya dapat mengancam keutuhan dan persatuan kawasan.
Ancaman dan tantangan tersebut berupa kekuatan luna yang berupaya untuk merusak pola pikir masyarakat di kawasan yang saat ini populer dengan istilah proxy war, yaitu suatu bentuk perang jenis baru yang memengaruhi hati dan pikiran rakyat dengan tujuan membelokkan pemahaman dan perilaku masyarakat agar mengikuti kehendak dari aktor yang berada dibalik layar tersebut.
"Jangankan negara di kawasan yang sarat dengan perbedaan, beberapa entitas negara yang memiliki ideologi yang kuat pun sudah berhasil dipecah-belah oleh kekuatan ini," kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini.
Dinamika lingkungan strategis kawasan juga masih diwarnai potensi benturan ego geopolitik antarnegara besar yang cenderung dapat memperluas perbedaan dan yang pada gilirannya dapat menjadi salah satu faktor penghalang terwujudnya stabilitas dan keamanan kawasan yang dicita-citakan bersama.
Perebutan pengaruh yang didasarkan pada persepsi hegemoni sektoral tersebut, tambah Ryamizard, hanya akan memperkeruh situasi keamanan yang pada gilirannya dapat mendisrupsi arah kompas tujuan mulia, yaitu terwujudnya masyarakat kawasan makmur dan sejahtera.
Kondisi itu juga menempatkan situasi keamanan kawasan semakin sulit diprediksi serta menempatkan perkembangan masa depan dunia menjadi semakin penuh dengan ketidakpastian.
"Sudah cukup kita melihat masyarakat menderita akibat aksi berbagai ancaman nyata yang sudah di depan mata khususnya serangan terorisme dan bencana alam, seperti yang terjadi di Jepang baru-baru ini yang mengakibatkan 139 korban jiwa, bencana di Lombok serta Taifun di Filipina. Inilah saatnya kita mengalibrasi ulang arsitektur dan tatanan kawasan yang baru yang lebih berorientasi pada aspek persatuan kemanusiaan dengan mengedepankan tranparansi dan keterbukaan," kata Menhan.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018