Jakarta (ANTARA News) - Lukisan besar potret Sukarno tengah diarak oleh beberapa orang bertopeng sementara di sekelilingnya ada ribuan penari kecak. Di bagian bawah lukisan Sukarno tersebut ada tulisan "B. Abdullah" yang merupakan singkatan dari nama maestro lukis Indonesia Basoeki Abdullah.

Itulah "lukisan dalam lukisan" karya perupa asal Bali, I Ketut Sadia yang didominasi oleh tone warna "bumi" seperti abu-abu, coklat. Dengan menggunakan gaya batuan dari Bali dia membuat tak ada ruang yang tersisa di kanvas berukuran 67x87 cm tersebut, semua penari kecak berjubel di dalamnya.

Lukisan berjudul "Kecak Bung Karno" tersebut ditampilkan dalam pameran "Spirit Potret" di Museum Basoeki Abdullah pada 25 September hingga 25 Oktober 2018. Dalam pameran tersebut pelukis-pelukis masa kini membuat karya dengan merespons karya potret dari Basoeki Abdullah.

Tak hanya Ketut Sadia yang membuat karya bergaya Batuan, pelukis I Wayan Diana juga melukis sosok Sukarno di dalam kereta kencana tengah mengejar istrinya Ratna Dewi. Di dalam lukisan tersebut Sukarno harus mengarungi hewan dan juga air.

I Wayan Diana mengambil inspirasi dari lukisan Basoeki berjudul "Senja Dewi", lukisan tersebut merupakan potret diri dari Ratna Sari Dewi yang sedang menggunakan pakaian tradisional Jepang kimono.

Basoeki Abdullah lahir di Solo pada 27 Januari 1915. Dia memang sangat piawai membuat potret, saat kecil dia sudah membaut potret tokoh perdamaian dari India Mahatma Gandhi yang dilihatnya dari sebuah koran.

Lukisan tersebut kemudian diinterpretasi kembali oleh pelukis asal Bandung Niko Wiratma dalam karyanya berjudul "Ahimsa". Di dalam kertas berukuran 55x66 cm itu, dia menggambar sosok Mahatma Ghandi menggunakan jubah putih dan tangannya mengatup seperti sedang memberi salam.

Tidak hanya pandai melukis, Basoeki juga sangat pintar bergaul, dia juga bersahabat erat dengan para pempimpin dan orang terkemuka di Indonesia dan dunia. Dia pun beberapa kali diangkat sebagai pelukis istana berbagai pemimpin negara.

Dari istana para pangeran di Belanda, Istana Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit di Thailand, Istana Ferdinand Marcos di Filipina, Istana Norodom Sihanouk di Kamboja, hingga Istana Sultan Bolkiah di Brunei Darussalam.

Lukisan Queen Sirikit karya Solichin dalam pameran "Spirit Potret" di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, Selasa (25/9). (Antara/Aubrey Fanani)
Lukisan potret para bangsawan tersebut menarik perhatian pelukis asal Semarang, Solichin. Dengan gaya realisme foto, dia menggambarkan kembali potret Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit dari Thailand ke dalam bentuk yang lebih nyata.

Detail bayangan dan cahaya yang akurat membuat lukisan tersebut seperti karya fotografi saja.

Wujud super-surealisme ditunjukkan oleh pelukis asal Bekasi, Hudi Alfa dalam karyanya berjudul "Madam Theresa". Jika dalam karya Basoeki Bunda Theresa dilukis dari samping dan tengah mendekap seorang anak kecil, Hudi memilih menggambarkan sosok Bunda Theresa yang mengepalkan tangannya saat berdoa dalam usia senjanya.

Meski memiliki prestasi yang gemilang, Basoeki juga tak luput dari polemik, dia sempat dianggap tidak nasionalis karena dia lebih banyak menggambar pemandangan dibandingkan dengan perjuangan bangsa. Di mana masa itu bangsa Indonesia sedang semangatnya menyuarakan tentang revolusi dan anti-imperialisme.

Apalagi pada 1948, ketika para pemuda sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Basoeki kebetulan ikut sayembara melukis Ratu Juliana di Belanda.

Meski dia memenangkan sayembara tersebut, namun stigma tidak nasionalis terlanjur melekat pada dirinya. Padahal sebaliknya, Basoeki juga punya rasa nasionalisme yang sama dengan yang lainnya.

Jika sikap nasionalis seorang pelukis harus ditunjukkan melalui karyanya, maka beberapa lukisan pahlawan yang dibuatnya seperti lukisan "Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran" bisa mematahkan stigma tersebut.

Pangeran Diponegoro digambarkan sedang menaiki kuda hitam yang berlari kencang, keris terselip di pinggang bagian depan. Tatapannya tajam dan tangannya menunjuk dengan jelas arah tujuan seakan ingin menyerang musuh.

Lukisan tersebut cukup berbeda dengan lukisan Diponegoro yang dibuat oleh Raden Saleh (Penangkapan Diponegoro) dan karya Nicholas Pieneman (The Submission of Diponegoro).

Lukisan itu juga menjadi inspirasi bagi Robby Lulianto pelukis kelahiran Jakarta untuk melukis "Pangeran Diponegoro". Dia meniru mimik Diponegoro yang dilukis dengan tatapan tajam.

Jika dalam lukisan Basoeki, sosok Pangeran Diponegoro hanya sendiri, dalam luksian Robby, dia menunjukkan dengan jelas siapa musuh yang sedang dihadapi oleh Diponegoro.

Di belakang Diponegoro juga terlihat siluet orang-orang yang memakai sorban sedang mengacungkan senjata, siap berperang.

Selain menggambar potret orang-orang terkenal dan juga masyarakat biasa, Basoeki juga pernah beberapa kali menggambar dirinya. Potret-potret dirinya itu menjadi inspirasi bagi pelukis masa kini dalam membuat karya.

Bahkan mereka menginterpretasikan potret diri Basoeki melampaui bayangan masyarakat biasa.

Seperti karya Lim Hui Yung atau yang dapat disapa Ayung yang melukis foto Basoeki Abdullah sedang menggunakan topi Indian. Dalam lukisan Ayung, sosok maestro berubah menjadi orang utan yang duduk di sebuah becak menggunakan topi Indian.

Ayung memang fokus menggambar satwa orang utan, dalam lukisan berjudul "Pride" tersebut, sosok Basoeki yang bertransformasi menjadi orang utan tidak hanya satu, tetapi ada tiga. Jika orang utan paling besar menggunakan topi Indian, yang dua lainnya menggunakan topi baret.

Melodia, pelukis asal Yogyakarta membuat lukisan potongan uang Rp1000 yang bergambar Kapitan Pattimura dimana gambar air uang seribu ada bayangan potret Basoeki Abdullah.

Gambar Kapitan Pattimura yang ada dalam pecahan Rp1000 tersebut memanglah gambar yang dibuat oleh Basoeki Abdullah. Melodia sengaja menyandingkan karya dan penciptanya dalam lukisan berjudul "Jejak Langkah Sang Maestro".

Semangat dalam lukisan potret

Pameran "Spirit Potrait" menampilkan lukisan-lukisan dari 19 seniman muda dalam menginterpretasi lukisan potret karya maestro "Basoeki Abdullah".

Kepala Museum Basoeki Abdullah Maeva Salmah mengatakan pameran itu menyandingkan lukisan-lukisan potret Maestro Basoeki Abdullah dengan lukisan potret para perupa muda yang aktif di Indonesia, dengan perspektif mereka akan lukisan potret era sekarang.

"Perupa-perupa ini telah diseleksi oleh kurator Agus Dermawan. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB dan Yogyakarta," kata Maeva.

Lukisan Jejak Langkah Sang Maestro karya Melodia dalam pameran "Spirit Potret" di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, Selasa (25/9). (Antara/Aubrey Fanani)
Dia mengatakan Basoeki Abdullah adalah salah satu tokoh penting dalam dunia seni rupa Indonesia, bahkan dunia. Lukisan Basoeki, terutama lukisan potretnya, menjadi rujukan dan inspirasi pelukis segenerasi atau generasi muda.

"Kemampuan luar biasa Basoeki dalam melukis potret telah membawa harum nama Indonesia dan dirinya di kancah seni rupa dunia. Apalagi pada 1948 dia mampu menjuarai lomba lukis Ratu Juliana di Belanda, mengalahkan 87 pelukis Eropa lainnya," kata dia.

Kurator pada pameran tersebut Agus Dermawan mengatakan pameran itu telah disiapkan sejak enam bulan yang lalu.

Para pelukis yang ikut serta dalam pameran tersebut mencoba menginterpretasi kosmologi Basoeki yang dihadirkan lewat lukisan potret Basoeki Abdullah.

"Mungkin kita terkejut melihat karya-karya mereka karena bukan potret biasa tapi penafsiran mereka yang jauh sekali," kata dia.

Dia mengatakan jajaran lukisan yang ditampilkan menyimpan berbagai aspek seperti balada, penganutan, penerusan, parodi hingga karikatur, bahkan beberapa pelukis memberikan penafsiran bernuansa pada respons budaya dan sosial.

"Keragaman cara memandang ini menunjukkan bahwa luisan potret karya Basoeki dilihat sebagai sesuatu yang hidup, sebagai karya piktorial yang tidak henti menyulu inspirasi," kata dia.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018