Jakarta (ANTARA News) - Pengacara mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, Susilo Aribowo, mengatakan kliennya tidak punya niat untuk korupsi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada investasi Pertamina di Blok Buster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.
"Yang jelas pertanggungjawaban pidana mesti ada niat jahatnya, tapi sampai sejauh ini tidak ada sesuatu yang diperoleh Bu Karen untuk investasi itu," kata Ariwibowo, di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa.
Kejaksaan Agung pada Senin (24/9) menahan Agustiawan seusai pemeriksaan kasus itu, dan ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
"Sebenarnya ini lebih ke 'business judgement rule' bukan ke tindak pidana. Apakah kerugian negara akibat investasi macam ini masuk kategori korupsi ya nanti dulu," tambah Susilo.
Karen telah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 oleh Kejaksaan Agung sejak 4 April 2018. Kejaksaan menaksir investasi itu merugikan keuangan negara hingga Rp568 miliar.
"Kita harus lihat anggaran dasar Pertamina memang agak unik, spesifik, terkait dengan investasi partisipasi 'interest' itu ya semacam investasi saham ada persyaratannya. Pertama ada persetujuan komisaris, ada 'feasibility study', semua sudah dilakukan. Kemudian persetujuan komisaris juga sudah didapat 30 April 2009, kemudian 27 Mei 2009 tanda tangan jual beli 'participating interest' itu," jelas sang pengacara.
Menurut dia, pada 27 Mei 2009 itu juga hanya berselisih beberapa jam direksi menerima pemberitahuan bahwa komisaris tidak setuju. "Ini khan aneh, tidak bisa dicabut mendadak begitu saja," ungkap dia.
Persoalan kedua, menurut dia, investasi itu untuk sumur minyak yang belum tentu menghasilkan. "Kita menginvestasi sumur tidak bisa menjamin isinya minyak atau tidak, yang jeblok juga banyak. Ini jadi risiko korporasi, seharusnya kalau memang dewan komisaris keberatan dan sudah telanjur mestinya berikan solusi atau berhentikan sementara direksi itu. Tapi kenyataannya tidak, justru diminta divestasi, itu yang agak aneh," kata dia.
Ia mengaku ingin mengajukan penangguhan penahanan untuk kliennya, tapi mengenai pengajuan praperadilan ia belum memutuskannya.
"Kalau ada peluang tentang penangguhan penahanan akan kita lakukan, untuk praperadilan nanti kita akan diskusi karena kita harus pertimbangkan plus minusnya kita belum tahu kita. Jangan-jangan malah tambah sprindik (surat perintah penyidikan) baru," kata dia.
Selain Agustiawan, dalam kasus ini penyidik juga telah menetapkan Chief Legal Councel and Compliance PT Pertamina, Genades Panjaitan, dan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), Frederik Siahaan. Mereka bertiga juga sudah dicegah bepergian ke luar negeri sejak 22 Maret 2018.
Sementara, mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) pada Direktorat Hulu PT Pertamina, Bayu Kristanto, sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan selama 20 hari oleh tim penyidik.
Kasus ini berawal saat Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen (Interest Participating/IP) terhadap ROC Oil Company Ltd untuk menggarap Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia.
Perjanjian dengan ROC Oil dalam Agreement for Sale and Purchase - BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksi mencapai 31,49 juta dolar AS.
PT Pertamina (Persero) pun harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar 26,8 juta dolar Australia. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Namun Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari sehingga, Blok BMG ditutup dengan alasan blok ini tidak ekonomis jika diteruskan untuk berproduksi.
Kejaksaan Agung menduga ada penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG karena pengambilan keputusan investasi disebut tak didukung kajian kelayakan hingga tahap kajian lengkap mutakhir (final due dilligence). Selain itu diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero).
Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari investasi Pertamina itu menurut perhitungan akuntan publik senilai 31,8 juta dolar AS dan 26,8 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp568 miliar.
Pewarta: Desca Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018