Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tetap menggulirkan wacana amandemen lanjutan terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 22D mengenai peran dan fungsi DPD, meskipun usulan itu kandas pada 7 Agustus karena berkurangnya jumlah dukungan dari anggota MPR. "Usulan DPD itu terus menjadi wacana, walaupun secara normatif usul DPD yang sudah disampaikan ke pimpinan MPR itu akhirnya ditunda DPD karena belum terpenuhinya syarat minimal jumlah pendukung untuk diadakannya Sidang MPR," kata Anggota DPD dari Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Hemas dalam "Refleksi terhadap Konstitusi Kita UUD 1945" di Gedung DPR/MPR Jakarta, senin. Dalam diskusi yang diselenggarakan Fraksi PKB DPR/MPR dan dipandu Ketua Fraksi PKB DPR/Sekretaris Fraksi PKB MPR Effendy Choirie, sebagai bentuk konsistensi PKB yang tetap mendukung amandemen konstitusi. Sikap PKB juga telah ditegaskan Ketua Dewan Syuro DPP PKB Abdurrahman Wahid, beberapa hari lalu. Ratu Hemas mengemukakan, konstitusi UUD 1945 telah diamandemen empat kali sejak 1999 hingga 2002 dan harus diakui telah menghasilkan sejumlah hal yang positif, termasuk menyangkut pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan presiden/wakilpresiden secara langsung, kewenangan DPR yang diperbesar, ketentuan HAM dan lahirnya lembaga DPD serta pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun setelah hasil amandemen itu dipraktekkan, masih terdapat berbagai kekurangan, antara lain menyangkut sistem perwakilan dalam parlemen yang salah kaprah apakah satu kamar atau dua kamar dan kewenangan MPR juga dinilai masih kabur. Di sisi lain, sistem presidensial dalam multipartai yang menjadikan pemerintah kurang efektif dalam menjalankan tugasnya. Dalam wilayah yudikatif, adanya tugas yang tumpang-tindih karena keberadaan tiga lembaga, yaitu MA, MK dan Komisi yudisial (KY). Selain itu, sistem desentralisasi yang dominan semangat federalismenya. Alasan DPD mengajukan amandemen adalah bahwa dengan tugas dan wewenang yang sangat terbatas sebagaimana diatur Pasal 22D UUD 1945, mustahil bagi DPD dapat mewujudkan maksud dan tujuan pembentukannya. "Sulit bagi anggota DPR untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politis kepada pemilih di daerah pemiliannya sesuai kewajiban yang diatur dalam UU N0.22/2003 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD," kata ratu Hemas. Ratu Hemas menegaskan bahwa DPD percaya bahwa dibentuknya satu lembaga perwakilan yang khusus memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan daerah, maka pembangunan daerah yang adil dan merata akan lebih terpacu. "sekaligus memperkuat ikatan kebangsaan dan NKRI," katanya. Ratu Hemas menjelaskan, DPD menarik usulan amandemen konstitusi karena kurangnya jumlah pendukung minimal 1/3 atau 226 orang dari jumlah anggota MPR. "Liku-liku DPD mendorong usul amandemen tentu merupakan cerita tersendiri yang menarik," katanya. Bagaikan sebuah drama, masyarakat dapat menyaksikan bagaimana serunya permaikan "tarik ulur" dukungan yang dilakukan politisi kita di parlmen. Ratu Hemas mengilustrasikan ketika hangatnya tarik-meraik dukungan dari petinggi parpol. "Ada SMS ke HP saya yang bunyinya begini `Pertanyaan besar bagi anggota DPD sebagai wakil kami kelau tidak memberi respon atas prilaku tarik dukungan dan plintat-plintut elit Parpol reformasi atas penguatan demokrasi di republik ini," kata Ratu Hemas. Menurut Ratu Hemas, ketika itu para pemimpin dan sebagian besar anggota DPD berupaya semaksimal mungkin untuk menyembunyikan kekesalan, sebagai bagian dari strategi lobi politik. Bahkan dukungan dari masyarakat sedemikian besar bagi DP untuk mengusulkan amandemen konstitusi berdasarkan hsil survei LSI. Secara lebih khusus, publik umumnya (73,4 persen) setuju agar dilakukan perubahan atau amandemen UUD 1945 yang terkait peran dan fungsi DPD.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007