San Francisco (ANTARA News) - Menu mie tek-tek kuah pedas dari Restoran Borobudur cukup menjadi alternatif pilihan pelepas kangen Tanah Air saat sedang menembus hawa sejuk pertengahan September di jalanan San Francisco.
Mie tek-tek kuah pedas yang dijajal Antara di salah satu restoran yang menyajikan menu-menu khas Indonesia di San Francisco, Amerika Serikat (AS), Jumat malam (14/9), meski tidak terlihat cabai rawit di dalamnya, memang benar terasa pedas.
Dengan mie ukuran sedikit lebih tebal dari yang biasa digunakan di Indonesia, mie tek-tek kuah pedas lengkap dengan kubis dan sayuran hijau dan tomat yang dipotong kotak disajikan panas. Kerupuk yang menjadi pelengkap hidangan ini, disajikan tepat di atas mie.
Sebagai toping, telur dan filet ayam dicampurkan di dalamnya. Jumlah potongan filet ayam cukup banyak dan besar, sehingga membuat semangat yang memakannya.
Sebagai tambahan informasi, porsi di rumah makan ini cukup besar. Jadi bagi mereka yang memang cepat merasa kenyang ada baiknya berbagi dengan rekan, pasangan, atau keluarga.
Jika diperhatikan, memang menu mie di restoran yang buka sejak 1991 ini cukup disukai. Ada saja di beberapa meja tersaji masakan mie, entah itu digoreng atau berkuah.
Subin (62), pemilik restoran masakan khas Indonesia yang terletak di Jalan Post, San Francisco, ini mengatakan menu yang ditawarkan sangat beragam, tidak hanya mie saja. Dari mulai nasi rames, nasi padang, pempek, soto betawi, sayur asam, mie ayam, ayam bumbu rujak bahkan hingga es cendol ada dalam daftar.
Jika ditanya menu apa yang paling diminati, ayah dari tiga putri ini menyebut semua disukai karena hampir semua menu selalu ada saja yang memesan.
Soal harga, jika dibandingkan dengan beberapa restoran Thailand, Vietnam dan Jepang di pusat kota San Francisco memang lebih mahal. Namun, Subin memang memiliki alasan kuat mengapa harga menu-menu makanan di restorannya sulit bersaing dengan makanan Asia lainnya.
Masakan Indonesia yang kaya bumbu atau rempah menjadi salah satu penyebab harga sulit bersaing, ini karena terkadang bumbu-bumbu harus diimpor dari Indonesia. Daun kunyit yang biasanya juga digunakan untuk membuat rendang jadi salah satu yang sulit diperoleh, kecuali memang didatangkan dari Indonesia.
Alasan lainnya, menurut Subin yang juga merangkap sebagai juru masak di restorannya sendiri, karena masakan Indonesia cenderung membutuhkan lebih banyak tenaga untuk proses penyiapan hingga siap dihidangkan. Padahal upah tenaga kerja di San Francisco semakin mahal.
Baca juga: Mencicipi kaledo sajian khas Palu
Baca juga: Mencicipi teh telur minuman khas pria Minang
Bertahan atau berganti
Salah seorang Indonesia yang sudah menetap di AS sejak 2001, Michael Jupiter mengatakan setidaknya ada tiga rumah makan yang menyajikan menu Indonesia. Namun restoran Borobudur lah yang bertahan paling lama, sementara lainnya lebih banyak yang buka-tutup, bertahan hanya dalam hitungan tiga tahun.
Jumlah restoran Indonesia di luar San Francisco, menurut dia, jauh lebih banyak dan menu yang disajikan lebih bervariasi di masing-masing rumah makan.
Biasanya tidak banyak pula Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di AS mendatangi restoran-restoran ini, karena pasti akan memilih memasak hidangan nusantara favorit mereka sendiri. Hanya yang kebetulan sedang plesir atau keperluan lain di sana yang biasanya mampir.
Dunia sudah tidak bersekat, globalisasi kuliner pun terjadi dan semakin lumrah. Layaknya sedang berwisata ke Semarang dan wajib menikmati lumpia semarang, begitu pula saat berkunjung ke Negeri Paman Sam, pasti sayang jika melewatkan hamburger yang sesungguhnya.
Chef Zachary Nice dari Restoran Up and Smoke, Jakarta, yang kebetulan asli dari San Francisco juga memberi rekomendasi menu sarapan hamburger yang memang makanan khas AS atau taco dari Meksiko.
Salah satu yang direkomendasikannya burger dari In and Out. Tapi untuk mendapatkannya tidak begitu mudah karena antrian di restoran ini biasanya “mengular”, seperti yang tampak di sekitar Pier 21 saat akhir pekan.
Ini alasan Subin mempertimbangkan untuk beralih lebih fokus untuk berjualan mie dengan berbagai topping yang juga berbau khas Nusantara. Dengan model makanan “kekinian” yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan ia berpikir tentu tidak membutuhkan terlalu banyak pegawai.
Cukup menguatkan rasa dan kualitas mie, lalu menyertakan topping sesuai pilihan penikmat rasa. Jika mendengarkan konsep yang Subin sampaikan ini mungkin mengingatkan pada Marugame Udon and Tempura yang khas Jepang yang sukses menciptakan antrian di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta.
Masakan Nusantara seperti rendang, ayam bumbu rujak, soto ayam, sate ayam, soto betawi, nasi rames, nasi padang atau mie aceh pada akhirnya akan tersaji dalam bentuk “fine dining” di luar negeri. Dan biasanya tarifnya pun tidak murah.
Begitu dan seterusnya. Kuliner Nusantara yang kaya rasa berkat bumbu dan rempah-rempahnya tampaknya harus pula bermetamorfosa dalam hal penyajian dan rasa dalam persaingan selera “kekinian” yang mengglobal.
Baca juga: Nikmati makanan Boston, California dan New York di "When Jakarta Meets The USA"
Baca juga: Tiga strategi tingkatkan wisata kuliner Indonesia
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018