Jakarta (ANTARA News) - Potensi bio-bridge untuk menyatukan habitat Orangutan Tapanuli atau Pongo tapanuliensis di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang telah terfragmentasi, terancam hilang dengan adanya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.
"Kondisi saat ini habitatnya memang sudah terfragmentasi jalan nasional. Namun para ahli dan aktivis lingkungan menemukan setidaknya tiga potensi bio-bridge yang bisa dikembangkan untuk menyatukan habitat orangutan khas Tapanuli ini," kata Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus) Kusnadi Oldani di Jakarta, Jumat.
Bio-bridge merupakan koridor antara bagian (area) hutan yang biasanya dibangun untuk menyelamatkan fauna terancam punah karena hutan yang terpecah akibat eksploitasi seperti perburuan ilegal, kayu yang tidak berlandaskan asas berkelanjutan, pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur hingga pertambangan.
Saat Antara bertanya masih adakah cara yang dapat dilakukan untuk tetap membangun bio-bridge tersebut bersamaan dengan proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 510 mega watt (MW), ia mengatakan belum menemukan referensi jawaban yes and but untuk kasus ini.
Upaya pengembangan tiga bio-bridge sebagai upaya konservasi yang sudah dilakukan bertahun-tahun oleh para ahli dan aktivis lingkungan nasional dan internasional di Ekosistem Batang Toru, bahkan sebelum diketahui adanya spesies baru Orangutan Tapanuli ini, menurut Kusnadi, akan terganggu dan bahkan gagal dengan kehadiran fasilitas PLTA dan kabel-kabel tegangan tinggi di sana.
Pengembangan bio-bridge ini menjadi upaya bersama setelah ditemukannya populasi terpisah orangutan di Ekosistem Batang Toru yang terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan.
Potensi bio-bridge ini dapat menyatukan habitat orangutan dan fauna lain di hutan Cagar Alam Dolok Sipirok dengan hutan lindung maupun Area Penggunaan Lain (APL) di Blok Barat. Serta menghubungkan hutan di Cagar Alam Dolok Sibualbuali dengan hutan di Blok Barat.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mengatakan proyek PLTA ini terletak di tiga kecamatan yakni Marancar, Sipirok dan Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Terdapat enam sub-daerah aliran sungai (DAS) yang akan digunakan mengairi pembangkit tersebut.
Beberapa bendungan yang akan dibangun akan menahan aliran air sungai selama 18 jam, dengan demikian air dibagian hilir akan menyusut. Bendungan akan dibuka selama enam jam pada malam hari untuk menggerakkan empat turbin, dan ada kekhawatiran alirannya akan membanjiri pertanian masyarakat di hilir, kata Dana.
Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung mengatakan PLTA Batang Toru dibangun sebagai peaker atau pembangkit listrik yang dioperasikan hanya untuk beban puncak saja. Dan ini akan menjadi peaker pertama di Indonesia yang menggunakan tenaga air.
Yang, menurut dia, menjadi aneh justru pemerintah mempertahankan pembangunan PLTA ini meski dalam perhitungannya harga jual listriknya akan mencapai Rp12 sen per kWh. Sementara PLTA serupa yang rencananya dibangun di Poso, Sulawesi Tengah, yang harga jual listriknya Rp8 sen per kWh justru dibatalkan.
Orangutan Tapanuli merupakan spesies orangutan ketiga setelah Pongo pygmaeus (orangutan kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan sumatera). Orangutan khas Tapanuli yang diperkirakan hanya tersisa lebih kurang 800 individu di habitatnya yang terfragmentasi tersebut menjadi tambahan spesies baru di kelompok kera raksasa dalam kurun waktu satu abad terakhir.
Baca juga: KLHK perkuat konservasi orangutan di Batang Toru
Baca juga: Walhi minta PLTA Batang Toru dibatalkan
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018