Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ada sejumlah keributan di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mulai dari masalah rotasi pejabat struktural tanpa proses seleksi hingga permainan tenis sang deputi bersama dengan orang yang pernah dimintai keterangan oleh KPK.

Perbedaan pendapat dalam satu organisasi sesungguhnya wajar saja, karena organisasi bukan dijalankan oleh satu orang dengan satu pemikiran. Mesin organisasi berjalan karena banyak orang yang punya beragam pikiran tapi berfokus pada satu tujuan yang sudah disepakati bersama. Bila argumentasi dalam satu organisasi sudah tidak bisa mencapai titik temu, kebutuhan akan bantuan penyelesaian dari pihak luar tak terelakkan demi perbaikan jalan pikir dan tertib administrasi organisasi.

Salah satu konflik yang akhirnya harus dibawa ke pihak ketiga berkenaan dengan rotasi pegawai. Tiga pegawai KPK mengajukan gugatan terhadap lima pimpinan KPK ke Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ketiganya menjadikan sejumlah surat keputusan pimpinan sebagai objek gugatan.

Gugatan didaftarkan ke PTUN Jakarta pada 17 September 2018 oleh Direktur Pembinaan Jaringan Kerja dan Antar Komisi dan Instansi Sujanarko (sebelumnya Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat); Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal pada Pusat Edukasi Antikorupsi Hotman Tambunan (sebelumnya Kepala Bagian Kearsipan dan Administrasi Perkantoran Biro Umum) serta Koordinator Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Dian Novianthi (sebelumnya menjabat Kepala Biro SDM).

Ketiganya "mewakili" 13 orang pejabat struktural lain yang dilantik pada 24 Agustus 2018 tanpa proses penilaian dan seleksi.

"Apa yang akan kita uji bersama dalam sengketa ini berkenaan dengan penegakan prinsip atau asas dalam tindakan dan keputusan rotasi yang dilakukan tergugat kepada 15 orang pejabat struktural. Prinsip yang selama ini dengan ketat dilaksanakan oleh KPK demi menjaga integritas, akuntabilitas dan independensi pelaksanaan tugas dan kewenangannya," demikian antara lain isi surat gugatan mereka.

Gugatan itu diajukan karena para penggugat menilai dasar, cara, proses dan keputusan tergugat melakukan rotasi berlawanan dengan prinsip fundamental pemberantasan korupsi, yaitu ketaatan pada asas, aturan hukum, objektivitas, transparansi dan akutanbilitas.

"Apakah prinsip ketaatan hukum, objektivitas, transparansi dan akuntabilitas, masih menjadi dasar utama dalam praktik birokrasi KPK atau sebaliknya kekuasaan dan kepentingan pimpinan boleh mengesampingkan prinsip-prinsip tersebut," kata penggugat.

Dalam uraiannya, para penggugat menilai tindakan dan keputusan tergugat melakukan rotasi terhadap para penggugat dan 12 orang pejabat KPK lainnya tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan prinsip legalitas.

Mereka bertiga pada 7 Agustus 2014 mendapat pemberitahuan melalui surel dari tergugat ketua KPK tentang pemberitahuan rotasi pegawai, bahwa ada 15 pegawai struktural yang akan dilantik dalam posisi jabatan baru pada 14 Agustus 2018.

Persoalannya, seluruh pegawai KPK maupun para penggugat tidak pernah mendapat informasi, mengikuti proses penilaian atau proses apapun terkait program rotasi yang akan dilakukan. Padahal selama ini rotasi pegawai di KPK selalu melalui program alih tugas yang diumumkan dan dilaksanakan melalui proses yang terbuka.

Dalam pemberitahuan itu juga tidak diinformasikan apa jabatan dan posisi serta di mana 15 pegawai akan ditempatkan dan hanya memerintahkan mereka untuk hadir dalam pelantikan pada 14 Agustus 2018. Karena tidak ada informasi yang jelas dan aturan tertulis untuk dijadikan pedoman rotasi, maka pimpinan KPK mendapat banyak kritik dan keberatan dari pegawai KPK.

Keberatan Pegawai

Wadah Pegawai KPK pun menyampaikan keberatan melalui surat keberatan pada 7, 8, 14 Agustus 2018 kepada pimpinan KPK lewat surel yang isinya meminta pimpinan membuat aturan jelas lebih dulu sebagai dasar pelaksanaan rotasi dan melaksanakan rotasi sesuai dengan kompetnesi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM.

Biro SDM sebagai unit kerja di bidang kepegawaian tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan rotasi yang dilakukan pimpinan KPK, bahkan kepala biro SDM pun ikut menjadi bagian yang dirotasi.

Pada 16 Agustus 2018, Plt Sekretaris Jenderal KPK Pahala Nainggolan kembali menyampaikan pemberitahuan sekaligus undangan resmi kepada 15 pejabat struktural yang kena rotasi untuk hadir dalam pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan pada 24 Agustus 2018 tanpa proses penilaian.

Hari itu juga Wadah Pegawai KPK kembali menyampaikan surat resmi kepada pimpinan yang intinya meminta mereka menghentikan sementara rencana rotasi dan pelantikan sampai ada aturan yang jelas sehingga rotasi dapat dilaksanakan dengan benar.

Namun pimpinan tidak pernah secara resmi menjawab berbagai keberatan terkait rotasi tersebut dan tetap melaksanakan pelantikan pada 24 Agustus 2018. Pegawai baru mengetahui dengan jelas ke mana dan dalam jabatan apa ditempatkan saat pelantikan 24 Agustus dan menerima surat keputusan pengangkatan pada 27 Agustus 2018.

Saat pelantikan, pimpinan menyatakan bahwa pedoman rotasi berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK No 1426 tahun 2018 tentang Cara Mutasi di Lingkungan KPK tertanggal 20 Agustus 2018.

Dalam keputusan itu, pimpinan KPK hanya memutuskan bahwa tata cara pelaksanaan mutasi bagi pegwaai KPK diatur dan berpedoman pada Peraturan Komisi No 06 P tahun 2006 tentang Kepegawaian. Proses mutasi, rotasi dan promosi dilaksanakan berdasarkan hasil rapat pimpinan dan tidak akan mengurangi hak-hak pegawai yang bersangkutan. Pelaksanaan mutasi bagi pegawai KPK harus memenuhi persyaratan khusus yaitu memiliki masa kerja sekurang-kurangnya enam bulan pada jabatan terakhir pegawai yang bersangkutan dan berdsarkan kebutuhan organisasi

Namun menurut pegawai KPK yang menggugat ke PTUN, surat keputusan tata cara mutasi itu cacat hukum karena tidak mengatur syarat rotasi dan bagaimana tata cara rotasi dilakukan. Apalagi terbitnya keputusan 1426 itu tanpa melalui prosedur dan cara yang benar dalam menerbitkan surat keputusan mengingat hanya diparaf tiga pihak yaitu dua Komisioner KPK Saut Situmorang dan Alexander Marwata serta Plt Sekjen sekaligus Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.

Pimpinan KPK menyatakan keputusan rotasi dan penerbitan keputusan soal tata cara rotasi itu sudah dibahas dengan matang. Mereka juga akan menghadapi gugatan ke PTUN.

"Kita menghargai, itu hak mereka untuk melakukan penuntutan itu, mungkin suatu pelajaran juga untuk kita. Kalau memang pimpinan bersalah saya pikir ya wajar bila untuk membuat kesalahan tapi yang pasti kita terima. Pimpinan kemarin sudah dibicarakan dengan matang," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan pada Rabu (19/9).

Padahal saat pelantikan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan meyakini bahwa rotasi memang harus dilakukan dan caranya pun sudah tepat.

"Kita pimpinan betul ingin mengikuti aturan yang ada dan kemudian keluar keputusan pimpinan. Ada yang mempermasalahkan agar wujudnya peraturan komisi bukan keputusan pimpinan tapi terkait produk hukum KPK (Peraturan Komisi) itu masih dibicarakan, karena itu kami merujuk ke peraturan tahun 2006, di situ menggunakan keputusan pimpinan jadi mudah-mudahan peraturan komisi (mengenai rotasi) yang sudah menunggu lama dapat segera diselesaikan," kata Agus pada 24 Agustus 2018.

Ia menilai rotasi pegawai di KPK saat ini terlalu lama, padahal Agus berharap pegawai berprestasi dalam waktu satu tahun pun sudah bisa naik jabatan.

Pahala Nainggolan pun sepakat dengan hal itu. "Prosesnya sudah tiga bulan yang lalu, awalnya banyak posisi yang kosong, tidak sehat sudah 3-4 tahun tapi tidak diisi sambil kita rotasi yang sudah kelamaan. Mana ada sih organisasi sudah 13 tahun berdiri, selama 11 tahun di organsisasi itu baru sekali rotasi, jadi teorinya untuk kepentingan organisasi," kata Pahala pada 24 Agustus 2018.

Rotasi itu menurut Pahala juga sudah dibahas berkali-kali bersama pimpinan.

"Kita bahas berkali-kali, (orang) ini ke sini, (orang itu) ke sana. Ini buat organisasi kayaknya pasnya ke sini tapi bisa salah juga, ada yang chemistry-nya cocok, di satu unit lemah, pertimbangannya banyak, ini kaidah organisasi normal saja," ungkap Pahala.

Sementara Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut soal keberatan dari Wadah Pegawai (WP) KPK sudah beres.

"Dengan WP sudah jelas semua, kita menjelaskan semuanya setelah itu kita ingin aturan kepegawaian itu jelas. Persyaratan rotasi dan mutasi itu diatur dengan keputusan. Ya sudah kita buat keputusan pimpinan itu. Itu sebetulnya tidak tepat juga, tapi nanti akan kita atur menyeluruh. Kalau peraturan yang sifatnya mengatur, peraturan pimpinan. Kalau peraturan komisi, yang mengikat keluar KPK juga, kalau internal itu peraturan pimpinan," jelas Alex.

Meski menurut pimpinan sudah jelas, tapi menurut pegawai yang ikut dirotasi keputusan itu tidak transparan.

"Tidak ada keuntungan pribadi, kita masing-masing happy dengan posisi saat ini, yang kita permasalahkan adalah kekonsistenan pada azas, transparansi dan kepatuhan pada aturan dan peraturan. KPK harus konsisten sebagai lembaga pemberantas korupsi yang prinsip utamanya adalah kepatuhan pada aturan peraturan, transparan dan akuntabel, ini untuk kebaikan KPK ke depan, dan kepemimpinan saat ini agar jadi contoh buat kepemimpinan berikutnya," kata pegawai tersebut.

Jika keputusan itu tidak digugat, maka malah dapat menjadi preseden dan yurisprudensi yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang bertentangan dengan roh pemberantasan korupsi.

"Sebelum proses pelantikan, berbagai langkah kita lakukan, kita kirim surat, kita audiensi, kita jelaskan semua prosedur dan konsekuensinya, tapi pimpinan tidak ada respons dan kekeuh dengan sikapnya, bukan berarti kita tak mau dirotasi, kita happy dengan rotasi tapi kita hanya ingin keputusan pimpinan harus selalu berbasis dan menunjukkan proses," tegas dia.

Tenis Deputi

Selain rotasi yang "mengadu" pimpinan KPK dan pegawainya secara langsung, ribut internal dalam lembaga penegak hukum itu juga terkait dengan kehadiran Deputi Penindakan KPK Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Firli dalam acara tenis Danrem 162/WB di lapangan tenis Wira Bhakti, Gebang pada 12-13 Mei 2018 yang foto-fotonya tersebar di media sosial.

Permainan tenis itu juga dihadiri oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) saat itu, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, yang pada bulan yang sama dimintai keterangan oleh tim penyelidik KPK mengenai dugaan korupsi divestasi dan penjualan saham pemerintah daerah NTB di Newmont. TGB diduga menampung dana di rekening pribadi dan istrinya pada periode 2009-2013.

Firli menjabat Kapolda NTB pada Februari 2017 sampai April 2018. Namun ia dilantik menjadi Deputi Penindakan KPK pada 6 April 2018. Artinya ia bermain tenis dengan TGB saat sudah menjadi Deputi Penindakan KPK.

Padahal dalam pasal 66 UU 30 tahun 2002 tentang KPK, pegawai KPK yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK tanpa alasan yang sah dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.

Terhadap hal itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berharap agar publik tidak berprasangka buruk lebih dulu.

"Pak Firli main tenis dengan TGB waktu yang bersangkutan jadi kapolda NTB. Ya wajarlah. Kan Gubernur, Kajati dan Kapolda tergabung dalam forum komunikasi pimpinan daerah (Forkompimda). Mereka memang harus sering berkomunikasi untuk menyelesaikan persoalan di daerah. Jadi jangan berprasangka buruk dulu. Pak Firli pernah mengatakan ke pimpinan saat menjadi kapolda NTB memang pernah bertemu TGB dan bagi pimpinan itu wajar," kata Alex.

Bukan hanya pegawai yang dilarang berhubungan dengan pihak terkait perkara, pimpinan KPK sesungguhnya juga dilarang menurut ketentuan Pasal 36 Undang-Undang KPK.

Namun sebelumnya pimpinan KPK Saut Situmorang, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata dan Laode M Syarif diketahui menghadiri pernikahan anak Ketua DPR Bambang Soesatyo pada 10 September 2018. Padahal Bambang pernah diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Saat itu Bamsoet mengaku dicecar soal dugaan aliran duit Rp50 juta ke DPD Golkar Jateng.

Ribut internal KPK juga pernah terjadi saat Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Aris Budiman menghadiri panggilan panitia khusus DPR dan balas-membalas surat elektronik Novel Baswedan selaku Ketua Wadah Pegawai KPK saat itu dengan Aris terkait rekrutmen penyidik dari Polri, namun sanksi terhadap Aris tidak jelas sampai hari ini, saat Aris akhirnya ditarik kembali ke Polri dan digantikan oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes RZ Panca Putra.

Para Argonot

Dalam mitologi Yunani ada kisah Jason, putra raja Aeson di Iolca, Thessaly. Demi merebut kembali tahta kerajaan dari pamannya Pelias, Jason harus mengambil bulu domba emas yang tergantung di pohon jati tua besar yang dijaga seekor naga. Bulu domba emas itu ada di Kolkhis yang menjadi kekuasaan Raja Aetes.

Jason tidak sendirian. Kerabat dan teman-temannya yang paling berani bersedia mempertaruhkan nyawa bersamanya. Mereka menyusun rencana untuk misi berani yang tidak bisa dilaksanakan satu orang saja. Teman-temannya bahkan berkeliling dan menyisir kota dan desa di Yunani sambil berteriak keras "Kalau kalian pemberani dan menyukai petualangan, tidak takut bahaya ikutlah bersama kami. Bergabunglah dengan kami dalam petualangan besar dan terhebat yang pernah ada".

Akhirnya 50 orang terkumpul. Mereka adalah para petualang dan pahlawan, petempur dengan kehebatannya masing-masing. Mereka adalah pembunuh minotaur (monster berbentuk manusia berkepala banteng), penjinak kuda, petinju, pegulat, dewa perkasa, peramal dan tabib, ahli retorika hingga penyanyi.

Selain rekan untuk berjuang, Jason juga harus mencari kapal yang besar dan kuat untuk berlayar melewati badai yang paling mengerikan menuju Kolkhis. Pembuat kapal terhebat saat itu adalah Argus. Ia bersama orang-orangnya membuat tiap keping papan dipotong dengan ukurang tepat, dipasang erat-erat sehingga seluruh rincian kapal sempurna dan kuat.

Kapal itu pun selesai, Jason menamainya Argo dan orang-orang yang menjadi awak kapal pun disebut Argonot.

Salah satu tantangan untuk tiba di Kolkhis adalah melewati bukit karang kembar Simplegades. Dua batu di tengah laut itu sangat besar seperti gunung. Keduanya bergerak ke arah berlawanan dengan kecepatan hebat dan mengakibatkan benturan dahsyat bagai ratusan halilintar menyambar bumi bersamaan.

Jason lalu mengambil seekor merpati untuk melihat apakah si merpati dapat terbang meloloskan diri dari dua karang itu. Hasilnya, merpati berhasil lewat meski karang raksasa itu menjepit bulu ekornya.

Argonot pun menetapkan hati lalu membungkuk di atas dayung mereka dan mendayung sekuat tenaga agar Argo menerobos celah Simplegades secepat kilat. Saat dua bukit karang kembali menutup dan dua bukit karang itu berbenturan, Argo berhasil lolos. Sedikit terlambat sehingga menjepit ujung hiasan kayu di buritan.

Simplegades lalu terbuka lagi dan tidak pernah menutup kembali karena sesuai takdirnya, bila ada kapal yang berhasil menembus celah maka kedua karang akan tetap terbuka lebar. Berkat para Argonot yang berani mengemban tugas yang tampak mustahil, jalur laut ke timur terbuka bagi generasi-generasi berikutnya.

Bila menganalogikan Argo sebagai KPK dan orang-orang di dalam KPK sebagai Argonot, apakah mungkin para Argonot dapat meloloskan Argo melewati Simplegades (baca: jebakan koruptor) demi mendapatkan bulu domba emas (baca: Indonesia yang bebas korupsi) tanpa membereskan lebih dulu permasalahan internalnya?

Untuk lolos dari Simplegades tidak hanya butuh modal keberanian, tapi juga perhitungan dan lebih lagi pemimpin (seperti Jason) yang mengutamakan misi utama, dan bukan kepentingan-kepentingan lain yang dicoba untuk diselesaikan secara sporadis. Modal-modal semacam itu juga yang mungkin akan menentukan apakah KPK akan terjepit di Simplegades karena persoalan internal atau bisa lolos menuju tantangan berikut.

Baca juga: Tiga pegawai KPK ajukan gugatan ke PTUN
Baca juga: Pimpinan KPK hargai gugatan pegawai ke PTUN

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018