Surabaya (ANTARA News) - Unit Pengkajian dan Penelitian Potensi Daerah (UP3D) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melakukan pendataan lagi untuk korban lumpur. "Ada sekitar 3.000 korban lumpur yang selama ini belum pernah didata, karena mereka korban paling akhir," kata Ketua UP3D LPPM-ITS, Dr Agnes Tuti Rumiati MSc kepada ANTARA News di Surabaya, Minggu. Ahli statistik ITS Surabaya itu menjelaskan pihaknya hanya akan mendata sekitar 20 persen korban paling akhir itu, karena sisanya merupakan korban yang rumah dan tanahnya sudah tenggelam tanpa bekas, sehingga sulit dilacak. "Tapi, kami bersyukur, karena apa yang kami lakukan sudah banyak diapresiasi warga yang merasa terbantu, sehingga tim ITS sekarang sering menerima ucapan terimakasih dari warga," katanya. Ditanya tentang warga korban lumpur yang sempat menolak data ITS yang dianggap tidak valid (tidak cocok dengan fakta di lapangan), ia mengatakan, hal itu bukan tidak valid, melainkan ada perbedaan persepsi. "Kalau ada yang dianggap tidak valid, jumlahnya tidak sampai 20 persen. Itu pun sebenarnya bukan tidak valid, tapi ada perbedaan persepsi, misalnya, luas lahan bagi kami adalah rumah, sedangkan bagi warga adalah rumah, halaman, kandang, dan seterusnya," katanya. Selain itu, ada puluhan warga yang menilai luas lahan adalah sama dengan luas tanah, padahal luas lahan adalah rumah, sedangkan luas tanah adalah rumah dan halaman. "Ada sekitar 50-an warga di sebuah desa yang menilai luas lahan sama dengan luas tanah, sehingga luas tanah yang berukuran 200 meterpesergi dianggap sama dengan luas lahan, apakah mungkin rumah itu tanpa halaman?," katanya. Contoh lain, ada warga korban lumpur yang memiliki luas lahan hanya 74 meterpersegi, tapi dia mengaku 148 meterpesergi. "Kalau ditanya, kok bisa? Dia menjawab, hal itu karena rumahnya tingkat," katanya. Menurut dia, adanya perbedaan persepsi itu bukan berarti ITS tidak memihak kepada warga, karena pendataan rumah korban lumpur yang dilakukan tim ITS tidak ada niat sedikit pun untuk merugikan warga yang sudah menderita. "Awalnya, kami melakukan pendataan dengan inisiatif sendiri untuk 450 warga korban lumpur Lapindo, lalu kami diminta presentasi di depan Lapindo dan Pemkab Sidoarjo," katanya. Namun, katanya, kerja sama ITS-Lapindo yang dilakukan setelah presentasi itu tidak merugikan warga atau bahkan mengurangi keilmiahan data, karena semuanya tidak tertutup dan bukan bersifat konspiratif. "Kami memang menolak warga yang minta data ke kampus, karena seperti minta data di tengah jalan. Semuanya dapat dilihat secara terbuka di papan pengumuman kantor kelurahan dan kantor timnas/BPLS. Tidak ada yang ditutup-tutupi," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007