Bogor (ANTARA News) - Wartawan yang melakukan liputan di daerah konflik harus mengutamakan ketersediaan dana serta pemahaman bahasa dan budaya wilayah konflik, kata instruktur pelatihan liputan konflik, Merdi Sofansyah.
"Dana, bahasa, dan budaya adalah modal yang penting bagi wartawan dalam liputan konflik," katanya dalam pelatihan liputan di daerah konflik yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Bogor, Sabtu.
Produser Eksekutif Liputan 6 SCTV yang berpengalaman meliput perang di Irak itu mengatakan, ketersediaan dana merupakan kewajiban bagi perusahaan media yang akan mengirimkan wartawannya untuk meliput konflik.
Menurut Merdi, dana sangat diperlukan wartawan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terduga.
Dicontohkannya, rusaknnya sistem nilai dan aturan di Irak selama perang membuat warganya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk memungut uang dari wartawan asing.
"Pungli ada di mana-mana," kata pria yang sempat meliput evakuasi tahanan politik dari "bunker" rahasia yang dibangun di masa pemerintahan mantan Presiden Irak, Saddam Husein.
Selain itu, katanya, uang juga berguna untuk memenuhi kebutuhan tak terduga lainnya, seperti pembelian alat komunikasi, imbalan narasumber dan pemandu, bahkan imbalan untuk lepas dari ancaman pihak yang berkonflik.
Sedangkan penguasaan bahasa dan budaya diperlukan untuk mempermudah komunikasi dengan narasumber atau pihak yang berkonflik.
Dengan memahami bahasa dan budaya masyarakat setempat, kata Merdi, seorang wartawan akan memiliki akses yang luas untuk menggali informasi.
Hal itu disebabkan narasumber atau pihak yang berkonflik akan menganggap wartawan tersebut sepaham atau menghargai budaya setempat.
"Mereka akan merasa in-group dengan kita," katanya.
Ketua AJI Jakarta, Jajang Jamaludin dalam keterangan tertulis menyatakan, fokus dari pelatihan tersebut adalah memberikan bekal kepada insan pers agar menjadi agen perdamaian ketika melaksanakan tugas juralistik di daerah konflik.
"Kritik yang paling utama dalam liputan semacam itu biasanya adalah pers dinilai tidak memberitakan secara proporsional, bahkan ada yang justru memanaskan keadaan," ungkap Jajang.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007