Oleh Eddy Karna Sinoel Yogyakarta (ANTARA News) - "Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi sayangnya, bangsa ini sudah kehilangan budaya rukun, damai, dan santun," kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, salah seorang tokoh nasional penggerak lokomotif reformasi yang belakangan ini selalu menyerukan pentingnya memahami kondisi bangsa yang pluralistik. Kegelisahan Sultan HB X pada kondisi bangsa akhir-akhir ini memang kerap mengemuka. Dalam sebuah orasi budaya, Raja Yogyakarta ini sempat menyatakan Yogyakarta adalah miniatur Indonesia. "Ruh Yogyakarta selama ini untuk Indonesia," kata Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu. Tetapi, tidak begitu lama setelah dia menyampaikan orasi budaya itu, tiba-tiba pecah bentrok fisik antara warga Kota Yogyakarta dan saudara sesama anak bangsa dari suku berbeda di kota revolusi itu. Peristiwa itu memang dapat diredam berkat kesadaran bersama semua pihak, namun Sultan HB X memprihatinkan kejadian tersebut dengan mengatakan, "Yogyakarta mundur ke belakang karena selama ini ruh Yogyakarta dipersembahkan untuk Indonesia". Ketika menerima seluruh anggota pasukan pengibar bendera pusaka serangkaian peringatan HUT ke-62 Kemerdekaan Republik Indonesia, Sultan kembali mengingatkan anak bangsa dengan mengatakan, "Benturan fisik antarumat dan antargolongan selama ini menjadi gambaran titik paling nadir dalam sejarah hubungan antaranak bangsa". Ia tidak hanya mengingatkan anak-anak bangsa di Kota Yogyakarta, tetapi di seluruh bumi pertiwi yang dinilainya semakin eksplosif. "Hanya sedikit isu sudah bisa memicu terjadinya konfrontasi fisik dan kerusuhan," katanya. Kondisi seperti ini memprihatinkan dan tidak boleh dibiarkan karena dapat mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Kepada generasi muda, yang harus dilakukan adalah menyikapi kondisi bangsa yang pluralistik, jauhi sikap fanatisme sempit dan saling curiga serta tempatkan perbedaan sebagai rahmat dan keniscayaan," kata Sultan. Sebarkan semangat persaudaraan lintas agama dan lintas suku dalam konteks keberagaman. Perbedaan adalah karakter khas setiap individu, dan kelompok masyarakat yang menjadikannya sebagai identitas diri. Meski demikian perbedaan itu harus dibingkai toleransi agar tidak menimbulkan jurang pemisah. "Membingkai perbedaan dengan semangat toleransi akan melahirkan persaudaraan antarsesama anak bangsa," katanya. Suatu ketika, ia mengatakan, "Bangsa yang dicitrakan sebagai bangsa religius telah berubah menjadi bangsa yang mudah marah. Persoalan kecil selalu diselesaikan dengan kekerasan. Setiap lapisan masyarakat selalu menganggap diri benar dan tidak mau menerima perbedaan". Terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada 2 April 1946 di Yogyakarta, setelah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi, kemudian sejak diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram. Lulusan Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini dinobatkan sebagai Raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 7 Maret 1989 menggantikan ayahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika Serikat (AS) pada Oktober 1988. Sultan menjabat Gubernur DIY sejak 3 Oktober 1998. Setahun sebelum masa jabatannya untuk periode kedua berakhir 2008 -- meski rakyat Yogyakarta tetap menginginkannya kembali menjadi gubernur -- Sultan sudah merilis sikap politiknya, "Tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY". Sikap politik sang Raja ini kemudian mengundang wacana, jika Sultan tidak bersedia lagi menjabat Gubernur DIY, maka posisinya harus ditempatkan lebih tinggi dari gubernur yang akan dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Ia bergeming dengan wacana itu, karena baginya, "Memikirkan rakyat Indonesia jauh lebih penting dari segalanya". Keprihatinannya pada konsisi bangsa saat ini memang realistis karena kilas sejarah memberi catatan emas pada Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta menyimpan beragam kebesaran sejarah. Pada masa kolonialisme, menjadi benteng pertahanan, dan ketika Yogyakarta menjadi Ibukota Republik, keraton menjadi pusat pemerintahan. Bung Karno, Bung Hatta, Ali Sastroamidjojo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan tokoh-tokoh bangsa lainnya berkumpul di Yogyakarta menggerakkan perjuangan bangsa. Ketika bola reformasi digulirkan, dan mahasiswa menyerukan Presiden Soeharto turun dari jabatannya, keraton menjadi tempat mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta menggelar "pisowanan agung" (apel akbar) mendukung gerakan reformasi yang sudah menjadi tekad anak-anak bangsa. "Saya siap turun ke jalan," kata suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang dikaruniai empat putri ini sembilan tahun lalu, Mei 1998. Ia pun tampil membela rakyat sambil berpesan, "Yogyakarta harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai tanpa kekerasan". Sultan prihatin pada wajah bangsa saat ini. Ia menggarisbawahi sikap tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya, "Tidak ada ruang bagi siapa pun untuk melakukan gerakan separatisme yang mengancam kedaulatan dan keutuhan negara". "Maraknya aksi separatisme di beberapa daerah seperti penurunan dan pembakaran bendera Merah Putih di Aceh dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap NKRI," katanya saat memperingati upacara Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI di halaman Istana Kepresidenan Yogyakarta, Gedung Agung. Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas, karena pada aksi separatisme ada unsur kesengajaan yang seharusnya tidak dilakukan dalam NKRI. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007