Jakarta (ANTARA News) - Naiknya harga minyak goreng yang terjadi saat ini lebih disebabkan harga minyak sawit mentah (CPO) yang mahal, bukan karena masalah pasokan di dalam negeri yang tipis. "Masalahnya bukan karena stok, tapi lebih karena harganya yang memang mahal, kalau pasokan di dalam negeri mencukupi bahkan berlebih," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi, di Jakarta, Jumat. Bayu memastikan dengan perkembangan harga minyak goreng seperti saat ini, yang di beberapa daerah mencapai lebih Rp10.000 per kg, pemerintah akan mengevaluasi berbagai kebijakan yang terkait dengan minyak goreng. "Kita sedang berusaha merumuskan kebijakan yang sistematis sehingga ketika terjadi perubahan kondisi maka otomatis ukuran yang berlaku juga berubah. Akan sangat merepotkan kalau setiap kali ada perubahan kondisi di lapangan kemudian kita harus mengubah kebijakan kita," katanya. Menurut dia, kebijakan untuk meningkatkan pungutan ekspor (PE) CPO dari yang berlaku saat ini, penerapan domestic market obligation (DMO), dan lainnya, masih merupakan opsi kebijakan yang akan dipertimbangkan pemerintah. "Semua opsi masih kita pertimbangkan, tekanan kita bukan pada masalah pasokannya tetapi masalah harganya," katanya. Mengenai kemungkinan Perum Bulog dilibatkan dalam distribusi minyak goreng, Bayu mengatakan sama halnya dengan PT PLN, Pertamina, dan lainnya, Bulog merupakan salah satu operator yang dapat membantu pemerintah. "Tapi kita belum putuskan masalah itu, kita akan memilih yang terbaik," katanya. Ketika ditanya apakah kalau pemerintah menaikkan PE CPO akan diikuti dengan kenaikan PE produk turunannya, Bayu mengatakan, industri sawit merupakan industri yang tingkat integritas antar komponennya sangat erat. "Tingkat integrasinya sangat tinggi sehingga antar komponen saling mempengaruhi, karena itu kita harus melihat secara menyeluruh," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007