Bandung (ANTARA News) - Perkembangan Industri Telekomunikasi di Indonesia sejak 2002 hingga pertengahan 2007 menyebabkan terjadinya peningkatan surplus konsumen yang disebabkan penurunan tarif per menit tiga operator seluler utama, yakni Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Fakta itu terungkap berdasarkan hasil studi atau kajian yang dilakukan oleh Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi (LMFE) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang dilakukan Juli 2007. "Peningkatan surplus konsumen ini terjadi karena harga yang mengalami penurunan dan peningkatan perbaikan pelayanan dalam bentuk non harga," kata Ketua LMFE Unpad, Dr Ina Primiana di Bandung, Jumat. Ia menyebutkan, pada 2007 intensitas persaingan harga antar-operator jauh lebih meningkat dibandingkan 2002, bahkan cenderung perang harga. Menurut Ina, fakta itu menunjukkan tidak terjadi penetapan harga secara horisontal. Lebih lanjut ia mengatakan, peningkatan surplus konsumen yang terjadi dalam lima tahun terakhir itu ditunjukkan dengan penurunan tarif per menit dari Indosat dari Rp1.419,44 pada 2002 menjadi Rp1.297,84 pada 2007. Kemudian Telkomsel dari Rp1.336,67 (2002) menjadi Rp1.303,05 (2007) serta Excelcomindo dari Rp1.513,33 (2002) menjadi Rp.1.201,70 pada 2007. "Penurunan tarif terbesar terjadi pada Excelcomindo diikuti Indosat dan Telkomsel," katanya. Untuk ketiga operator itu, lanjut Ina, jumlah pelanggannya meningkat dari 11,27 juta menjadi 52,88 juta pada 2006. "Hal ini menunjukkan tidak terjadi `consummer lost`, justru yang terjadi peningkatan `consummer surplus`," katanya. Hasil kajian itu juga menunjukkan pemerintah dan usaha nasional adalah pemilik mayoritas dari operator telekomunikasi di Indonesia, khususnya Indosat dan Telkomsel dengan kekuatan kepemilikan dan kewenangan regulasi. Pemerintah memainkan peran yang strategis dalam mendorong berkembangnya industri telekomunikasi di Indonesia. Terkait perbedaan tarif antara di Indonesia dan di luar negeri, menurut Ina tidak dapat secara otomatis digunakan untuk mengukur efisiensi atau keuntungan dan kerugian konsumen. "Hal itu terjadi karena perbedaan struktur biaya, tingkat teknologi, daya tarik pasar dan regulasi," katanya. Sementara itu Acuviarta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Kota Bandung mengatakan, historis perkembangan industri di Indonesia menunjukkan ciri-ciri oligopoli. Faktor-faktor yang menyebabkan pasar oligopoli adalah karena keperluan investasi yang sangat besar, teknologi tinggi, sumber daya manusia dengan keahlian khusus dan yang utama adalah karena kebijakan pemerintah sejak awal memberikan hak-hak monopoli kepada pelaku usaha. "Oligopoli tidak berarti buruk karena hal itu terjadi secara alamiah sebagaimana juga terjadi di negara lain," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007