Hal itu dilakukan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota.
"Rapat Pleno kalau tidak Sabtu malam atau Minggu. Namun kami belum menerima Putusan MA tersebut karena tahu dari pemberitaan sehingga kami tidak boleh merevisi PKPU sebelum menerima putusan tersebut," kata Viryan di Kantor KPU RI, Jakarta, Sabtu.
Dia menjelaskan, perubahan PKPU harus melalui dua mekanisme yaitu uji publik dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR.
Menurut dia, KPU pernah tidak menjalankan RDP karena Komisi II DPR sedang reses sehingga PKPU diundangkan dahulu di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Ini kami bahas karena saat ini sudah tanggal 15 September sementara penetapan DCT tanggal 20 September. Waktu kami singkat sehingga kami sadar ini harus segera ditindaklanjuti," ujarnya.
Menurut dia KPU masih menunggu Putusan MA tersebut karena harus melihat konten putusannya apakah dalam putusan itu hanya klausul mantan napi kasus korupsi yang dibatalkan.
Lalu bagaimana dengan klausul napi kejahatan seksual pada anak dan mantan napi narkoba apakah bisa menjadi caleg atau tidak.
Viryan mengatakan KPU RI harus hati-hati dan cermat dalam melakukan penyesuaian PKPU agar hasilnya tidak menimbulkan permasalahan baru.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan uji materi Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota.
Baca juga: PKS sesalkan Putusan MA terkait mantan napi korupsi
Baca juga: KPU akan gelar pleno bahas putusan MA
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018