Yogyakarta (ANTARA News) - Mak dan ibu memiliki arti yang sama, setidaknya begitu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Mak bermakna orang tua perempuan, ibu; sebutan kepada orang perempuan yang patut disebut ibu atau dianggap sepadan dengan ibu.
Ibu berarti wanita yang telah melahirkan seseorang, mak; sebutan untuk wanita yang sudah bersuami; panggilan yang takzim kepada wanita, baik yang sudah bersuami maupun yang belum.
Mak atau ibu adalah perempuan, wanita, atau kaum hawa.
Tak ada beda di antara keduanya, sama-sama insan mulia, sama-sama dihormati dan disayangi, dan sama-sama memiliki peran yang sama.
Hanya nilai rasa ketika menyebut kedua istilah itu dan kebiasaan menggunakannya yang membuat seolah-olah antara keduanya menjadi "berbeda".
Pada pemahaman atas istilah mak, misalnya, berkonotasi kedaerahan sedangkan ibu menasional.
Dalam konteks kekinian, terlebih pada tahun politik saat ini, menjelang Pemilihan Umum 2019, banyak istilah dipakai sebagai pencitraan untuk merujuk pada kelompok atau kubu tertentu.
Begitu pula dengan istilah mak-mak dan ibu bangsa.
Pemakaian istilah mak-mak, atau kerap di berbagai media massa ditulis emak-emak, kemudian diasosiasikan pada kubu pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno, terlebih dalam berbagai kesempatan kerap melibatkan banyak perempuan.
Padahal istilah mak-mak, dalam konteks kekinian,popular, menyusul tampilan foto dari akun facebook seseorang bernama Tam pada 10 Oktober 2016 yang memperlihatkan seorang ibu yang memboncengi anaknya tampak mudah melintasi medan berlumpur tanah liat sedangkan di sekitarnya para pebalap motocross tampak tak mampu melintasi medan di pegunungan itu.
Foto itu diberi keterangan dengan tulisan "the power of emak-emak" dan menjadi viral di berbagai media sosial serta diberitakan oleh pers.
Kemudian muncul menjadi tayangan film lepas di televisi (FTV) berjudul "The Power of Emak-Emak" pada 2017.
Mulai Juli lalu, judul itu dipakai sebagai judul serial sinetron di sebuah stasiun televisi, dibintangi sejumlah artis, antara lain Della Puspita, Oka Sugawa, dan Risma Nilawati.
Ketua MPR Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum PAN, salah satu partai pendukung Prabowo-Sandiaga, bahkan "memanfaatkan" istilah mak-mak dalam sambutan Sidang Tahunan MPR yang dihadiri Presiden Jokowi pada 16 Agustus lalu, saat meminta pemerintah menjaga harga-harga barang kebutuhan rumah tangga agar daya beli mereka tidak tergerus.
"Bapak Presiden, ini titipan mak-mak, titipan rakyat Indonesia agar harga-harga terjangkau, terutama kebutuhan sehari-hari," katanya.
Ibu bangsa
Terkait penyelenggaraan Sidang Umum ke-35 ICW (International Council of Women), organisasi perempuan dunia di bawah naungan PBB, dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia yang seluruh rangkaian acaranya berlangsung pada 11-20 September 2018, juga menjadi ajang untuk menyoal itu.
Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) Giwo Rubianto Wiyogo menolak penyebutan kekuatan mak-mak (the power of mak-mak).
"Sorry, tak ada `the power of mak-mak`, yang ada `the power of Ibu Bangsa`," kata Giwo saat menyampaikan laporan pada upacara pembukaan resmi Sidang Umum ke-35 (ICW) dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia.
Pembukaan resmi itu dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise, Menteri BUMN Rini Soemarno, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono? X dan istri GKR Hemas, mantan Menteri PPPA Meutia Hatta, Presiden ICW Jungsook Kim, dan ribuan peserta, dan tamu-tamu undangan.
Giwo menegaskan bahwa yang ada adalah "the power of mother" atau kekuatan ibu. "Ibu bangsa sejati, bukan mak-mak," katanya.
Pada akhir sambutannya, Giwo mendoakan Presiden Joko Widodo dapat melangsungkan tugasnya kembali untuk masa-masa mendatang.
Presiden Joko Widodo mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk menjadi Ibu Bangsa yang menjaga persatuan bangsa mengingat Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan budaya bangsa yang beragam.
Kepala Negara mengingatkan, "Negara kita adalah negara besar, kita diberi anugerah oleh Allah SWT beragam, berbeda-beda, berwarna-warni, berbeda agama, berbeda ras, berbeda tradisi, berbeda suku, berbeda bahasa daerah."
Menurut Presiden, kekayaan Indonesia yang beragam perlu dijaga kesatuannya.
Negara lain tidak ada yang memiliki kekayaan suku, bahasa dan budaya sebanyak yang dimiliki oleh Indonesia.
Kekayaan yang dimiliki bangsa ini selain sunber daya alamnya adalah 714 suku bangsa, dan 1.100 bahasa daerah.
Jokowi juga menyampaikan bahwa sejumlah tokoh perempuan Indonesia terus mengharumkan nama bangsa baik melalui sektor olah raga, pasukan perdamaian, pendidikan, dan kinerja di pemerintahan.
Ia secara khusus memuji kinerja perempuan Indonesia yang terus berkarya dan berprestasi mengharumkan nama bangsa. "Artinya kita punya srikandi-srikandi yang akan terus berjuang untuk merah putih, untuk negara kita Indonesia," katanya.
Beberapa perempuan atlet yang berjasa pun disebutkan Presiden Jokowi, di antaranya pebulu tangkis Susi Susanti, atlet wushu Lindswell Kwok, serta dua "spider woman" Indonesia Aries Susanti, serta Puji Lestari yang memenangkan lomba adu cepat panjat dinding.
Presiden menyebutkan 12 medali emas dari 31 medali emas yang diperoleh disumbangkan oleh atlet-atlet perempuan.
Jangan politisasi dan dikotomikan
Mak dan ibu tidak pantas untuk dipolitisasi atau didikotomikan.
KPU (Komisi Pemilihan Umum)?telah menetapkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2019, sebanyak 185? 185.732.093 pemilih. Jumlah pemilih laki-laki 92.802.671 orang dan pemilih perempuan 92.929.422 orang.
Dengan jumlah pemilih perempuan yang lebih banyak itu tentu saja menjadi penentu kemenangan.
Namun perempuan hendaknya tidak dipolitisasi dengan berbagai cara yang justru melemahkan daya tawar perempuan dalam pemberdayaan mereka serta peran serta dalam pembangunan.
Banyak pihak mengingatkan soal politisasi ini termasuk dari kalangan perempuan, seperti yang dilakukan Perempuan Milenial Indonesia (Permisi) yang berunjuk rasa di Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (12/9), untuk menyuarakan aspirasi agar perempuan tidak dijadikan bahan kampanye politik.
Perempuan semestinya juga terbebas dari upaya dikotomi mak atau ibu.
Perempuan harus benar-benar diberdayakan sebagai pilar kekuatan negeri ini, bukan diperdayakan untuk kepentingan politik sesaat.
Editor: Nusarina Yuliastuti
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018