Indonesia adalah rumah kita bersama. Tidak ada yang diuntungkan kalau rumah kita runtuh.

Jakarta, (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9), mengatakan perlemahan rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh tekanan global maupun domestik.

Sri Mulyani menyebut fenomena ini dengan istilah perfect storm atau badai yang sempurna, karena kombinasi persoalan yang menyelimuti di luar maupun dalam negeri terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Ia menjelaskan penyebab eksternal dari depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah pembalikan modal ke negara maju sebagai dampak dari normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS).

Kondisi ini diperparah oleh potensi terjadinya perang dagang antara AS dengan China serta guncangan ekonomi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Argentina maupun Turki.

Sri Mulyani mengakui lingkungan ekonomi global yang menantang seperti ini masih dapat terjadi tahun depan dan diperkirakan dapat memberikan dampak negatif terhadap negara-negara berkembang pada 2019.

Berbagai tekanan eksternal ini didukung oleh buruknya kondisi domestik yaitu defisit neraca transaksi berjalan yang hingga semester I tahun 2018 telah tercatat 13,7 miliar dolar AS atau 2,6 persen terhadap PDB.

Realisasi tersebut sedikit mengkhawatirkan karena defisit neraca transaksi berjalan Indonesia untuk keseluruhan 2017 hanya mencapai 17,3 miliar dolar AS atau 1,7 terhadap PDB.

Untuk itu, pemerintah mulai melakukan pembenahan terhadap defisit neraca transaksi berjalan guna memperkuat fundamental ekonomi yang saat ini tercatat dianggap masih cukup baik.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengharapkan penguatan fundamental ekonomi tersebut dapat membedakan Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya yang kebijakan ekonominya tidak konsisten dengan kondisi fundamental.

"Kami berharap, dengan kehati-hatian ini, Indonesia dapat dibedakan dari emerging countries lain yang fundamental ekonominya lebih rapuh dan kebijakan ekonominya tidak mencerminkan pondasi mereka," ujar Sri Mulyani.

Dari sisi fiskal, upaya pengelolaan dengan menjaga kinerja penyerapan anggaran dan penerimaan perpajakan juga dilakukan untuk memberikan kepastian kepada pengelola dana terhadap prospek ekonomi Indonesia pada masa depan.

Pembenahan beri dampak positif

Dalam kesempatan terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan tekanan domestik yang sedikit mereda pada 2019 akan memberikan dampak positif pada kinerja defisit neraca transaksi berjalan.

Mirza mengatakan penyebab domestik yang bisa membantu mengurangi tekanan terhadap defisit neraca transaksi berjalan adalah realisasi dari penjadwalan ulang proyek infrastruktur yang bermanfaat mengurangi impor bahan baku.

Selain itu, kata dia, pelaksanaan dari penggunaan energi biodiesel (B20) juga bermanfaat untuk mengurangi impor migas, terutama solar, yang selama ini menjadi salah satu penyebab tingginya defisit neraca transaksi berjalan.

Pemerintah juga telah berupaya untuk menekan impor barang konsumsi dan mendorong produksi domestik dengan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 terhadap 1.147 barang konsumsi impor.

Mirza mengharapkan kondisi perbaikan defisit neraca transaksi berjalan ini secara tidak langsung bisa memberikan efek positif kepada pergerakan nilai tukar rupiah pada 2019, yang saat ini masih bergejolak akibat tekanan global.

Realisasi defisit neraca transaksi berjalan yang hingga semester I-2018 tercatat sebesar 13,7 miliar dolar AS atau 2,6 persen terhadap PDB menjadi alasan dari sisi domestik penyebab terjadinya perlemahan rupiah terhadap dolar AS.

Meski demikian, tekanan terhadap mata uang diperkirakan ikut berkurang pada 2019, sehingga volatilitas kurs diproyeksikan akan lebih rendah daripada 2018, seiring dengan berakhirnya normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS.

Menurut rencana, otoritas moneter dari negara adidaya tersebut mulai perlahan-lahan menghentikan penyesuaian suku bunga acuan pada 2019, sehingga investasi portofolio diperkirakan kembali masuk ke negara berkembang.

"Intinya 2019 itu kenaikan suku bunga AS sudah setop. Kalau sudah setop, tekanan dari sentimen negatif dari kenaikan suku bunga AS pada 2019 juga mudah-mudahan sudah hilang," ujar Mirza.

Saat ini, Bank Sentral AS diperkirakan masih akan melakukan penyesuaian suku bunga acuan sebanyak dua kali lagi hingga akhir 2018, dan akan melakukan hal serupa sebanyak dua atau tiga kali pada 2019.

Selain itu, berkurangnya dampak negatif dari perang dagang yang dilakukan China dan AS juga dapat membantu stabilisasi rupiah tahun 2019 yang diperkirakan berada pada kisaran Rp14.300-14.700 per dolar AS.

Rupiah tidak dalam krisis

Harapan pengelola fiskal maupun otoritas moneter ini, didukung riset terbaru dari Nomura Holdings Inc yang menyatakan Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara berkembang yang mempunyai risiko kecil atas terjadinya krisis mata uang.

Indonesia setara dengan negara berkembang lain yang juga mempunyai risiko rendah terhadap krisis mata uang seperti Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia dan Thailand.

Laporan ini menyatakan berbagai langkah yang sudah dilakukan otoritas moneter maupun pemerintah Indonesia untuk menjaga pergerakan nilai tukar telah berjalan dengan efektif.

Indonesia juga dinilai telah memiliki cadangan devisa untuk menahan depresiasi rupiah serta berbagai upaya untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dan membuat APBN yang kredibel.

Dalam kesempatan ini, Nomura juga memberikan sinyal bahwa tujuh negara berkembang mengalami risiko krisis nilai tukar yang tinggi yaitu Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki dan Ukraina.

Negara-negara lain seperti Malaysia, Meksiko, China, Vietnam, India, Korea Selatan maupun Polandia, juga mendapatkan penilaian "merah", meski dalam skala krisis yang rendah.

Riset Nomura ini didasarkan pada model peringatan dini yang bernama Damocles, yang mengacu pada salah satu tokoh dalam mitologi Yunani.

Damocles dibangun untuk mengidentifikasi potensi krisis mata uang di 30 negara berkembang dengan mempelajari beberapa indikator, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, aliran dana dan impor.

Semakin tinggi skor Damocles suatu negara, maka semakin rentan negara tersebut mengalami krisis, seperti yang saat ini dialami Sri Lanka dengan nilai 175, atau yang tertinggi diantara negara berkembang lainnya.

Model ini dengan tepat telah memprediksikan sekitar 67 persen dari krisis mata uang di 54 negara berkembang sejak 1996, sekitar 12 bulan sebelum krisis terjadi.

Beberapa diantaranya seperti krisis finansial Asia pada 1997, krisis keuangan Rusia pada 1998 serta guncangan ekonomi yang baru-baru ini terjadi di Argentina, Turki, Afrika Selatan dan Pakistan.

Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari juga mengatakan pergerakan rupiah terhadap dolar AS saat ini jauh dari mendekati situasi ketika terjadi krisis keuangan pada 1997-1998.

Ia juga meyakini koordinasi antara pemerintah, BI maupun OJK dalam keadaan baik untuk menjaga kinerja perekonomian, karena volatilitas rupiah tidak terjadi terlalu tinggi, seperti di negara berkembang lainnya.

Untuk itu, Denni mengharapkan masyarakat tidak panik dan mendukung berbagai langkah yang dilakukan guna menekan perlemahan rupiah yang sejak awal tahun telah terdepresiasi sebesar sembilan persen.

Peraih PhD dari University of Colorado at Boulder ini juga mengharapkan para pelaku politik untuk tidak menjadikan situasi ekonomi yang sedang bergejolak sebagai komoditas politik menjelang pemilihan umum.

"Jangan menggunakan apa yang terjadi pada rupiah sekarang untuk kepentingan konstestasi politik. Indonesia adalah rumah kita bersama. Tidak ada yang diuntungkan kalau rumah kita runtuh," katanya.*

Baca juga: OJK yakini industri keuangan mampu tangkal pelemahan rupiah

Baca juga: Pemerintah sebut pelemahan rupiah tidak perlu dikhawatirkan berlebihan

Pewarta: Satyagraha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018