Jakarta (ANTARA News) - Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Paripurna DPR-RI di Jakarta 16 Agustus 2007 mengangkat isu mendasar yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal itu tepat sekali mengingat di masa belakangan dalam berbagai bidang kehidupan kita, nasionalisme Indonesia sepertinya dialpakan, di tengah gelora arus budaya global yang memasuki tanah air kita. Ketika tanggal 21 Agustus 2007 berceramah di depan 269 mahasiswa baru kedokteran di Aula FKUI dalam rangka kegiatan Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU), saya diminta memaparkan tentang kebangsaan, mengingat merosotnya nasionalisme di kalangan generasi muda. Ketika menghadiri Pembukaan Festival Bung Karno-Bung Hatta di Gedung Pola Jalan Proklamasi 56 Jakarta Pusat pada 22 Agustus 2007, mendengarkan kata sambutan Guntur Soekarnoputra dan Halida Hatta, menyaksikan murid-murid Sekolah Dasar menyanyikan Indonesia Raya dan Bendera Merah Putih, dan artis Dorce Gamalama menyanyikan lagu ciptaannya, "Dwi Tunggal Indonesia", saya semakin sadar betapa nasionalisme kita perlu direvitalisasi dan dihidupkan lagi. Pada suatu hari Prof. Dr Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah bertanya kepada saya, apakah tepat Hari Kebangkitan Nasional kita peringati tanggal 20 Mei merujuk kepada didirikannya Budi Utomo 20 Mei 1908? Sebab Budi Utomo organisasi yang terbatas pada Pulau Jawa belum mencakup seluruh Indonesia, belum ada perkumpulan Indonesia Muda, baru hanya Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan sebagainya. Sedangkan kalau diambil tanggal 28 Oktober itu lebih relevan karena tanggal 28 Oktober 1928 Indonesia Muda berkumpul di Kramat Raya Nomor 101 Jakarta dan di sana mengucapkan Sumpah Pemuda yaitu berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa satu: Indonesia. Saya jawab jika berpedoman pada isitilah "Indonesia" saja, mungkin beralasan kecenderungan memilih tanggal 28 Oktober. Akan tetapi kalau dipahami bahwa sejarah itu suatu kontinuitas, tak terputus-putus, tiap peristiwa ada babak pendahuluannya atau voorspel, maka ketika Budi Utomo didirikan jiwa dan roh Indonesia in embryo telah ada kalbu tokoh-tokoh pendiri Budi Utomo seperti Dr. Wahidin Soediraoesada, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Radjiman Wedyoningrat, Dr. Soetomo, dan lain-lain. Sehingga pada zaman Budi Utomo itu nasionalisme Indonesia sudah tampak manifestasinya. Organisasi nasional yang terbesar dan terkenal pada awal abad ke-20 tentulah Sarekat Islam dengan pemimpin-pemimpinnya seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Sarekat Islam dalam tempo singkat punya 12 ribu anggota di Betawi saja. Jumlahnya meningkat di daerah pedalaman Jawa Timur dan tahun 1919 Sarekat Islam mengklaim mempunyai dua juta anggota. Kebanyakan anggota Sarekat Islam adalah kelas menengah seperti saudagar, pengusaha yang dalam kehidupan sehari-hari harus mengindahkan tata krama, memberikan hormat kepada para bupati ("regent") yang priyayi itu. Petinggi-petinggi "pangreh praja" Jawa masa itu hanya dapat dihampiri secara fisik dengan bergerak beringsut-ingsut, merangkak sambil menghatur sembah. Protes pun datang. Menurut buku "Gesschiedenis van Indonesia" oleh Leo Dalhuisen cs. (2006) tahun 1914 di Semarang terjadi demo di Sarekat Islam. Di situ diusung semboyan "Orang Jawa tak mau lagi jongkok kayak kodok". Di rumah bola (societeit) Sarekat Islam di Surabaya orang dilarang duduk di tanah. Semua anggota mesti memakai pantalon. Busana tradisional yang berdasarkan motif dan kombinasi warna menunjukkan perbedaan dalam status sosial, yang ningrat, yang bukan, "kudu" dihapuskan, sehingga para anggota tak pedulikan hormat secara berlebih-lebihan. Putra mahkota kesultanan Mataram Yogyakarta pergi ke Malang dan bertemu dengan ketua lokal Sarekat Islam. Sang Pangeran menggunakan bahasa Jawa "kromo inggil" (tertinggi), dan bukan "ngoko" (terendah), waktu berbicara dengan pemimpin Sarekat Islam tadi. Saking kagetnya diperlakukan sopan oleh ningrat tadi, maka Ketua Sarekat Islam selama 24 jam tidak bisa makan, minum dan tidur dibuatnya. Inilah ilustrasi zaman itu. Tapi dengan bergeraknya rakyat secara organisatoris modern dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka, melalui partai Islam, Komunis, Nasionalis, dipimpin oleh tokoh-tokoh politik seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir di zaman non-kooperasi melawan Belanda, melewati pendudukan militer Jepang, sampailah juga pada akhirnya bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Pada Peringatan HUT ke-62 RI teringatlah kita akan pengalaman kita sebagai bangsa dan negara yang mengenal pasang surut. Kita teringat akan kemelut-kemelut yang kita hadapi, pemberontakan dan gerakan separatis di dalam negeri, akan hilangnya kesempatan-kesempatan membina masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, akan kebodohan dan ketiadaan tanggungjawab yang diperlihatkan oleh elite dan oligarki bisnis dan militer. Kendati semua itu kita bisa menyaksikan dewasa ini bahwa NKRI masih ada, tidak ambruk berantakan. Rupanya bangsa dan negara kita ini mempunyai staying power, daya mampu bertahan yang cukup kuat. Apakah gerangan sumber dan rahasia kekuatannya? Jawabnya sederhana: nasionalisme Indonesia. Apapun pendapat anda tentang nasionalisme, tapi satu hal jangan dianggap remeh temeh. Nasionalisme merupakan faktor pemersatu kita semua. Karena itu revitalisasi nasionalisme Indonesia diperlukan.(*)
Oleh Oleh Rosihan Anwar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007