"Untuk seleksi objektivitas tentu tetap diutamakan, dan tentu saja kami berharap yang kami jaring akan lolos karena kami sudah pelajari dan investigasi, mereka memiliki kualifikasi lebih," kata dia, di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Kamis.
Namun dia memang tidak memungkiri bahwa seringkali orang-orang yang dijaring Komisi Yudisial untuk mengikuti seleksi calon hakim agung (CHA) terkadang belum cukup siap ketika menghadapi seleksi tertentu.
"Seperti dalam seleksi wawancara atau bahkan uji kelayakan dan kepatutan di DPR, mereka kadang merasa dipermalukan dengan pertanyaannya dan itulah permasalahan yang sering dihadapi," kata dia.
Harapan KY ini juga berlaku untuk CHA kamar Tata Usaha Negara khusus pajak, yang dia bilang, sangat sulit untuk dijaring.
Dalam mencari CHA khusus pajak, Komisi Yudisial sempat melakukan penjaringan ke Kementerian Keuangan, pengadilan pajak, hingga ke perguruan tinggi untuk mencari ahli perpajakan.
"Akademisi tidak banyak karena guru besarnya masih bisa dihitung jari dan itupun mereka belum tentu mau menjadi hakim agung. Untuk hakim karir perpajakan juga tidak banyak," ujar dia.
Menurut dia, sumber daya manusia terkait bidang perpajakan sebetulnya cukup, namun peraturan perundang-undangan membatasi untuk seleksi CHA haruslah seorang sarjana hukum.
"Nah, hakim pajak itu umumnya sarjana akuntansi, meskipun dia punya pengalaman sebagai hakim cukup panjang, tetapi jika sarjana akuntansi itu akan menyulitkan," kata dia.
Dari 82 CHA yang dinyatakan lolos seleksi administrasi, Komisi Yudisial meloloskan enam orang CHA untuk kamar Tata Usaha Negara khusus pajak.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018